Pemerintah Perlu Segera Selamatkan Industri Tekstil karena Sumbangan terhadap Ekonomi dan Tenaga Kerja Besar
JAKARTA – Pailitnya perusahaan tekstil raksasa Sri Rejeki Isman atau Sritex terjadi karena permintaan tekstil yang melambat, menurut ekonom. Untuk itu, pemerintah diharapkan bisa menyelamatkan Sritex industri tekstil dan produksi tekstil (TPT) memiliki dampak besar terhadap ekonomi dan tenaga kerja Indonesia.
Keputusan pailit Sritex menjadi sorotan publik karena melibatkan banyak pihak dan banyaknya tenaga kerja. Pailit yang terjadi di Sritex membuat pemerintah bergerak hingga mengerahkan empat kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja.
"Presiden Prabowo sudah memerintahkan Kementerian Perindustrian, Kemenkeu, Menteri BUMN, dan Menteri Tenaga Kerja untuk segera mengkaji beberapa opsi dan skema untuk menyelamatkan Sritex," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan tertulis.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menyiapkan beberapa opsi penyelamatan terhadap Sritex dari kondisi pailit. Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKTF) Reni Yanita mengatakan, usulan-usulan penyelamatan ini harus didiskusikan kembali bersama Sritex dan juga tiga kementerian terkait lainnya yakni Kemenkeu Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kemenaker.
"Kita ada pertemuan lanjutan yang lebih detail kepada skema-skema yang diusulkan ke pemerintah dalam hal ini mungkin ke Kementerian Keuangan. Karena kan ada empat menteri kan, nah untuk menyusun itu kan kita juga harus konsolidasi," ujar Reni di Kantor Kemenperin.
Tekanan Besar Industri Tekstil
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda tak menampik bahwa industri tekstil, termasuk perusahaan legendaris Sritex, mempunyai tekanan yang cukup kuat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi permintaan global seperti Amerika Serikat dan China mengalami penurunan yang pada akhirnya membuat permintaan industri tekstil melambat.
Bahkan ketika kondisi AS sudah membaik, menurut Huda, masih tidak bisa mengangkat permintaan tekstil lebih tinggi. Permintaan China melambat yang menimbulkan oversupply di domestik China.
“Di sisi lain, tekanan produk impor sangat terasa sekali, terutama setelah Kementerian Perdagangan (Kementan) mengeluarkan aturan yang memperlonggar aturan dan syarat impor,” kata Huda saat dihubungi VOI.
“Terlebih permintaan dari dalam negeri ikut melambat dan mereka lebih memilih produk impor karena harganya yang lebih murah. Jadi tekanan dari dalam negeri ada, dari luar negeri juga kuat. Maka tak ayal industri tekstil dan produksi tekstil atau TPT tumbang,” imbuhnya.
Senada dengan Huda, ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengungkap, Sritex pailit bukan semata-mata karena masalah internal perusahaan. Pailitnya Sritex justru mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh industri garmen secara keseluruhan di Indonesia.
Baca juga:
- Sritex Dinyatakan Pailit, Industri Tekstil Indonesia Sekarat Digempur Produk China
- Kontroversi Pembelajaran Matematika Sejak TK di Tengah Merosotnya Skor Numerasi Indonesia
- Makelar Kasus di Mahkamah Agung Kian Runtuhkan Kepercayaan Publik Terhadap Hukum di Indonesia
- Sebanyak 9,9 Juta Gen Z Menganggur, Tak Semata akibat Pilih-pilih Kerjaan
"Kepailitan Sritex adalah puncak dari masalah yang telah lama mengintai. Dengan beban utang yang besar, ketergantungan pada permintaan global, serta tekanan dari kenaikan upah minimum, Sritex akhirnya tidak mampu lagi bertahan," kata Achmad.
Dalam beberapa tahun terakhir, Achmad melihat industri garmen Indonesia berada di bawah tekanan. Itu masih ditambah dengan ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor dan rantai pasok global yang terganggu oleh berbagai faktor eksternal, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta kenaikan biaya produksi di dalam negeri.
"Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak hanya berpengaruh pada daya beli mereka, tetapi juga akan memengaruhi stabilitas sosial di kawasan industri yang sangat bergantung pada keberadaan perusahaan-perusahaan tekstil besar," ungkapnya.
Melemahnya industri tekstil di Tanah Air juga menurut Achmad menjadi masalah serius karena dapat memperburuk kesenjangan gender dalam tenaga kerja dan berpotensi meningkatkan kemiskinan perempuan.
"Dengan mayoritas pekerja perempuan di sektor garmen ditambah kehilangan pekerjaan dalam skala besar seperti ini, maka ini adalah isu yang perlu dihadapi dengan serius," beber Achmad.
Industri Tekstil Tulang Punggung Ekonomi
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, jumlah tenaga kerja di sektor tekstil mencapai 94.732 orang pada 2020. Ini setara dengan lima persen dari total pekerja di Jateng. Boleh dibilang, perusahaan yang terletak Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut merupakan tulang punggung ekonomi setempat.
Per 2023, BPS mencatat bahwa PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Sukoharjo sebesar Rp46,52 triliun. Angka ini 8,74 persen lebih tinggi dibandingkan 2022.
Mengutip Kompas, saat ini Sritex memiliki jumlah karyawan dalam grup Sritex mencapai 50.000 orang. Lalu ada 14.112 karyawan yang bakal terdampak langsung akibat putusan pailitnya perusahaan.
"Saat ini ada sekitar 14.112 karyawan SRIL yang terdampak langsung, 50.000 karyawan dalam Grup Sritex, dan tak terhitung usaha kecil dan menengah lain yang keberlangsungan usahanya tergantung pada aktivitas bisnis Sritex," ungkap perusahaan dalam keterangan.
Nailul Huda mengatakan, selain Sritex, perusahaan sektor TPT lainnya juga sudah banyak yang melakukan PHK dan tidak sedikit yang gulung tikar. Artinya, kondisi ini sudah parah dan pemerintah nampaknya kehabisan ide untuk memberikan stimulus ke industri TPT ini.
“Padahal sumbangsih industri TPT ke industri nasional cukup besar. Porsi industri TPT terhadap PDB mampu mencapai 5,8 persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan basis pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja,” tambahnya.
Jika Sritex melakukan PHK kepada 50.000 pegawainya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Sukoharjo dan Jawa Tengah karena jumlah angkatan kerja di Kabupaten Sukoharjo pada 2023 sebanyak 499.743 orang dan di Jawa Tengah sebanyak 21,07 juta orang.
Untuk itu, kata Huda, penting bagi pemerintahan Prabowo untuk bisa menghentikan laju negatif industri tekstil. Ia juga mendorong agar aturan yang memperlonggar impor ditertibkan untuk memberikan insentif bagi industri TPT lokal, serta mengevaluasi bea masuk untuk produk TPT sehingga tidak menimbulkan gejolak lebih panjang.
“Penyelamatan Sritex, dan industri tekstil lainnya, sangat diharapkan karena sumbangan industri TPT yang besar terhadap ekonomi dan tenaga kerja Indonesia,” jelas Huda.
“Terlebih Sritex punya pekerja hingga 30ribu tenaga kerja. Pailitnya Sritex bukan hanya berdampak ke industri tekstil, tapi mempunyai multiplier ke sektor lainnya. Ekonomi daerah juga sangat terancam merosot cukup jauh, seperti Sukoharjo dan daerah pusat tekstil lainnya,” pungkasnya.