Badai PHK Tekstil Diprediksi Sampai Akhir 2024, Wamenperin Janjikan Kebijakan Perlindungan Khusus

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merespons kabar terkait kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang disebut akan menghadapi badai pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga akhir 2024 ini.

Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengatakan, pihaknya akan membuat kebijakan khusus sebagai bentuk perlindungan terhadap industri TPT. Meski begitu, Faisol belum dapat memberikan kebijakan baru yang dimaksud.

"Kami prihatin betul karena terutama tekstil kami mendapat tekanan, insyaallah dalam waktu dekat kami Kemenperin akan mengambil sikap untuk industri tekstil," ujar Faisol di kantor Kemenperin, ditulis Rabu, 23 Oktober.

Secara umum, Faisol melihat kondisi industri manufaktur saat ini mengalami kontraksi yang tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia. Untuk itu, industri membutuhkan stimulus untuk kembali bergairah sehingga dapat berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Oleh karena itu, dia akan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk pemberian insentif bagi pelaku usaha agar dapat mengurangi beban biaya produksi dan memperbesar pasar.

"Kami lihat karena yang pasti Presiden (Prabowo Subianto) ingin cepat situasi tidak menentu (ini ada solusi). Jadi, harus cepat ambil sikap, mudah-mudahan tahun ini (ada insentif)," katanya.

Berdasarkan catatan VOI, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan, jumlah karyawan yang terkena PHK selama tiga tahun terakhir hampir mencapai 200.000 dan hanya dalam satu bulan terakhir hampir 30.000 orang diberhentikan.

"Pemerintah, wakil rakyat dan pihak-pihak yang berkepentingan seyogianya menyadari realitas ini, sehingga bisa secara bersama-sama mencari solusi agar industri tekstil dan garmen dalam negeri dapat dibantu untuk bangkit," ujar Danang, Senin, 9 September.

Menurut Danang, ada beberapa hal yang membuat industri tekstil dan garmen dalam negeri berada dalam posisi sulit. Pertama, karena ketatnya persaingan di antara negara-negara produsen tekstil. Dalam konteks ini, industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan China, Bangladesh dan Vietnam.

Kedua, masuknya produk tekstil dari mancanegara yang begitu deras, baik barang baru maupun pakaian bekas alias thrifting. Ketiga, pemerintah yang bersikap setengah hati dalam membantu dan melindungi industri tekstil dalam negeri.

"Saya melihat negara masih setengah hati melindungi pelaku industri tekstil dalam negeri. Upaya ada, tapi realisasinya tidak maksimal. Akhirnya, hasilnya juga tidak bagus. Importir ilegal tidak ditindak tegas," ungkapnya.