Deflasi Lima Bulan Berturut-turut karena Masyarakat Tak Punya Uang untuk Belanja

JAKARTA – Sudah lima bulan berturut-turut Indonesia mengalami deflasi atau penurunan harga secara umum. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) meminta masyarakat banyak berbelanja hingga akhir tahun ini untuk memacu pertumbuhan ekonomi di atas lima persen pada 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen pada September 2024. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan ini adalah deflasi kelima beruntun sepanjang tahun ini dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Secara historis, deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12% (month to month)," kata Amalia dalam konferensi pers di kantor BPS pada 1 Oktober.

"Deflasi pada September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada 2024 secara bulanan," sambungnya.

Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun. (Freepik)

Sebelum ini, deflasi 2024 pertama kali terjadi pada Mei sebesar 0,03 persen. lalu secara berturut-turut deflasi berlanjut pada Juni (0,08 persen), Juli (0,18 persen), dan sempat membaik pada Agustus (0,03 persen).

"Deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir terlihat secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak."

Perlambatan Konsumsi

Deflasi secara sederhana dapat diartikan sebagai penurunan harga barang dan jasa yang terjadi secara berjangka atau sekaligus bersamaan dalam jangka waktu tertentu.

Dilihat sekilas deflasi tampak menguntungkan untuk masyarakat, karena harga-harga barang dan jasa jadi lebih tejangkau. Namun ekonom dari Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan deflasi selama lima bulan berturut-turut bukan indikasi positif bagi perekonomian Indonesia.

“Secara iklim makro ekonomi kalau melihat sudah lima bulan berturut-turut ada deflasi, artinya di satu sisi harga-harga lebih murah, tapi di sisi lain ini sebenarnya mengindikasikan konsumen tengah menyetop atau melambatkan konsumsinya, ada lagging demand,” ujar Fithra.

Melambatnya permintaan konsumen, dijelaskan Fithra, tidak lepas dari fakta bahwa kelas menengah di Indonesia tengah anjlok. Sebagaimana disebutkan dalam laporan BPS pada Agustus lalu, jumlah penduduk yang masuk kelas menengah selama lima tahun terakhir mengalami penurunan.

Proporsi kelas menengah Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta penduduk lebih rendah dibandingkan pada 2019, yaitu sebanyak 57,33 juta penduduk. Sedangkan jumlah penduduk kategori menuju kelas atas atau aspiring middle class terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa pada 2024, meningkat dari 128,85 juta jiwa lima tahun lalu.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menyampaikan bahwa deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan. Kelompok kelas menengah sulit mencari pekerjaan, sementara kelas menengah atas menahan atas menahan belanja lantaran khawatir situasi ekonomi memburuk.

"Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Bahkan bukan lagi tahan belanja tetapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya," papar Bhima kepada VOI.

Jika deflasi berlanjut maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan revisi rencana bisnisnya. Saat ini angka Purchasing Managers Index (PMI) berada di bawah 50 yang menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas pembelian bahan baku.

“Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi," Bhima melanjutkan.

Akibat Banyak PHK

Analis ekonomi dari Bright Institute Muhammad Andri Perdana menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini. Pertama adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi terus menerus.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena PHK per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK itu sebagian besar dari sektor manufaktur. Provinsi dengan angka PHK tertinggi adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.

Tingginya gelombang PHK juga diperkuat dengan catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang menyebut hingga Agustus 2024 jumlah klaim Jaminan Hari Tua atau JHT sebanyak 2,07 juta.

Andri mengatakan, gelombang PHK yang makin besar menurunkan pendapatan masyarakat kelas pekerja, sehingga mereka akan lebih banyak berhemat mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan prioritas.

Kedua, karena minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Saat PHK membludak, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya nyaris tidak ada dalam lima tahun terakhir, kata Andri. Padahal sektor inilah yang jadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Seorang karyawan perusahaan sektor pariwisata memberikan informasi lowongan pekerjaan saat berlangsung bursa kerja di Politeknik Pariwisata Bali, Badung, Bali, Kamis (10/10/2024). (ANTARA/Fikri Yusuf/rwa)

Situasi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperti tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.

Agar tidak terjadi resesi sebagaimana yang dikhawatirkan banyak kalangan, Bhima bilang pemerintahan baru perlu menunda mega proyek infrastruktur dan dialihkan ke program perlindungan sosial untuk kelas menengah rentan.

Kemudian, mem⁠perkuat sektor industri dengan menarik investasi yang lebih berkualitas, mendorong sektor pertanian dan perikanan berkelanjutan dengan bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih besar, misalnya untuk subsidi pupuk, serta ⁠memberikan jaring pengaman sosial tambahan bagi pekerja gig economy atau pekerja lepas.

Fithra Faisal Hastiadi menambahkan untuk mengatasi situasi ini, lapangan kerja sektor formal baru. Pemerintah, dikatakan Fithra, perlu melakukan industrialisasi karena dengan begitu lapangan kerja bisa bertambah sehingga demand atau permintaan bisa ikut meningkat juga.

“Ke depannya harga-harga bisa stabil, tidak terlalu murah atau mahal, terjangkau tapi tidak mengindikasikan perlambatan,” kata Fithra memungkasi.