Cara Kerja GeNose, Kenapa Banyak Dikritik?
JAKARTA - Alat skrining COVID-19 GeNose C19 semakin banyak digunakan di tempat publik. Setelah banyak digunakan di beberapa stasiun kereta api, mulai besok alat ini bisa dipakai di bandara. Namun, meluasnya penggunaan GeNose berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kritik. Banyak pihak yang menanyakan akurasi dari alat besutan ilmuwan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
GeNose diprakarsai oleh Eng Kuwat Triyana dan Ahmad Kusumaatmaja dari FMIPA UGM, serta Dian Kesumapramudya Nurputra dan Mohamad Saifudin Hakim dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan. Alat ini sudah mengantongi izin edar sejak 24 Desember tahun lalu.
Setelah mendapat izin edar, GeNose C19 kemudian diproduksi massal. Kuwat, selaku ketua tim pengembang GeNose mulanya menargetkan 10 ribu unit sampai bulan lalu. Dengan jumlah alat sebanyak itu maka jumlah tes COVID-19 per hari bisa mencapai 1,2 juta orang per hari.
“Tentu, bukan hanya angka-angka seperti itu harapan kita semua, namun kemampuan mentes sebanyak itu diharapkan akan menemukan orang-orang terinfeksi Covid-19 tanpa gejala (OTG) dan segera diambil tindakan isolasi atau perawatan sehingga rantai penyebaran Covid-19 dapat segera terputus,” papar Kuwat dikutip laman UGM.
GeNose juga diklaim memiliki kemampuan mendeteksi virus corona baru dalam tubuh manusia dalam waktu cepat. Tak kurang dari 2 menit hasil tes sudah dapat diketahui apakah positif atau negatif COVID-19. “Kalau sebelumnya butuh waktu sekitar 3 menit, kemarin saat uji di BIN sudah bisa turun menjadi 80 detik sehingga lebih cepat lagi,” kata Kuwat.
Cara kerja GeNose
Menurut salah satu anggota Tim Pengembang GeNose, Dian Kesmapramudya Nurputra, cara GeNose mengidentifikasi virus corona yakni dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC). Kata Dian, VOC terbentuk lantaran adanya infeksi COVID-19 yang keluar bersama napas. Untuk itu mereka yang diperiksa dengan GeNose, terlebih dahulu diminta menghembuskan napas ke kantung khusus.
Kemudian, sensor-sensor dalam kantung itu bekerja mendeteksi VOC. Kemudian, data yang diperoleh diolah menggunakan kecerdasan buatan hingga memunculkan hasil. Dan dalam waktu kurang dari 2 menit, GeNose bisa mendeteksi apakah seseorang positif atau negatif Covid-19.
Sebelum ada GeNose, alat identifikasi COVID-19 yang diakui adalah swab test PCR dan Antigen. Ketiganya punya metode yang berbeda.
Cara kerja PCR
Kalau GeNose menggunakan sampel napas untuk mendeteksi virus corona baru, Tes PCR menggunakan sampel lendir yang diambil dari hidung atau tenggorokan. Tujuannya untuk mencari materi genetik dari virus corona.
Selanjutnya, sampel dimasukkan ke tabung khusus untuk kemudian diperiksa di laboratorium. Pada tahap berikutnya, sampel diekstraksi menggunakan kit tertentu agar dapat mengeluarkan materi virus yang dicari.
Setelah materi genetik virus didapat, selanjutnya diperbanyak (amplifikasi) menggunakan mesin real time PCR. Proses tersebut bisa dilakukan sampai sekitar 40 siklus.
Mesin PCR tersebut memakai teknologi floresens sehingga setiap diperbanyak, terbentuklah sinyal floresens. Jumlah sinyal itu berbanding lurus dengan amplifikasi yang terjadi.
Dalam edaran Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) yang dikutip Klikdokter disebutkan, hasil pemeriksaan real time PCR dinyatakan positif bila terdapat akumulasi sinyal fluoresens. Dan sinyal tersebut dipengaruhi oleh CT (cycle threshold) value. Apa itu?
CT value merupakan jumlah siklus yang diperlukan hingga sinyal fluoresens melampaui atau melewati ambang (threshold). Dengan kata lain, semakin rendah nilai CT, semakin tinggi jumlah asam nukleat target, dan hal itu mengindikasikan adanya infeksi virus corona baru.
Pada umumnya, ambang batas nilai CT adalah 40. Bila nilai CT 29-37, ini termasuk positif. Sedangkan CT 38-40 positif lemah. Namun beberapa kit reagen mencantumkan ambang batas berbeda. Misalnya 41, 35, atau 38. Untuk itu interpretasi hasil PCR harus disesuaikan kembali.
Cara kerja antigen
Sedangkan untuk tes antigen pengambilan sampelnya mirip dengan PCR yakni menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung ataupun tenggorokan dengan metode usap (swab). Dari sampel yang diambil, alat ini mengidentifikasi virus dalam sekresi hidung dan tenggorokan.
Tes antigen hasilnya lebih cepat keluar daripada PCR, yakni hanya membutuhkan waktu 10-15 menit. Namun, swab antigen sebetulnya hanya mampu mendeteksi virus saat jumlah virus tersebut tinggi.
Namun ketika jumlah virusnya tidak terlalu tinggi, CT (cycle threshold) valuenya di atas 25 atau di atas 30, antigen itu bisa akan negatif. Padahal sebenarnya, pasien tersebut mengandung virus corona baru, sehinggal antigen kalah sensitif dibandingkan dengan PCR.
Perbandingan akurasi
Dari ketiga metode tes COVID-19, yang dinilai paling akurat yakni PCR. Sebab tingkat akurasinya disebut-sebut mendekati 100 persen.
Sementara akurasi antigen, dinilai berada di bawah PCR. Diketahui, rapid test antigen memiliki sensitivitas maksimal 94 persen dan spesifisitas lebih dari 97 persen.
Lalu bagaimana dengan tingkat akurasi GeNose? Alat ini sebetulnya diklaim punya tingkat akurasi cukup tinggi yakni 93-95 persen. Bila pasien dinyatakan positif pada satu kali kantung napas, ia disarankan melakukan pemeriksaan PCR pada hari ke-2 atau 3 pasca pengambilan sampel GeNose.
Lalu bila diklaim punya akurasi yang cukup tinggi, pertanyaannya, mengapa GeNose menuai banyak kritik?
Tuai kritik
Banyak yang mengkritik penggunaan GeNose sebagai alat skrining COVID-19. Virolog dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Andri Pramesyanti salah satunya. Saat dihubungi VOI, ia menyoroti soal metode GeNose yang masih perlu diuji kelayakannya.
Andri menjelaskan metode deteksi COVID-19 GeNose itu pada dasarnya melihat profil dari sebuah volatile compund atau VOC. Hal itu tercipta dari proses metabolisme sel dan jaringan dalam tubuh. "Kalau ada penyakitnya, profil (VOC) akan berbeda-beda... Seperti kanker atau infeksi," kata Andri, 31 Maret.
Sementara yang menjadi pertanyaan dari alat GeNose ini menurut Andri adalah apakah betul alat tersebut bisa membedakan spesifisitas dari virus corona baru atau tidak. Bagaimana bila ada spesifisitas lain yang mirip seperti misalnya pneumonia?
"Apa betul hanya untuk orang COVID-19 saja? Bisa tidak bedakan antara yang infeksi virus pneumonia lain?" beber Andri.
Untuk itu, kata Andri spesifisitas dan sensitivitas GeNose perlu diuji lebih lanjut dengan lebih banyak sampel. "Supaya hitungan statistiknya memenuhi standard riset."
Selain Andri, kritik juga datang dari Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman. Kata dia GeNose belum menjadi rekomendasi dari WHO untuk melakukan skrining pelaku perjalanan.
"Pemilihan skrining itu harus mempertimbangkan rekomendasi WHO. Yang jelas, sejauh ini WHO baru merekomendasikan dua yaitu PCR dan rapid test antigen. Bukan semata-mata GeNose dipakai karena murah, mudah, dan produksi dalam negeri. Bukan itu," kata Dicky kepada VOI.
Menurut Dicky, bila ingin mengendalikan penularan COVID-19 dalam pergerakan masyarakat, berarti harus pilih yang berkualitas dan sudah direkomendasikan.
"Kalau bicara konteks genose, memang betul ada potensi skrining. Tapi dalam konteks saat ini, saya merekomendasikan lakukan dalam setting fasilitas kesehatan saja dulu, sembari uji pada populasi umum dengan sampel yang besar, sehingga bisa memvalidasi hasilnya nanti," kata Dicky.