Inklusi Keuangan Kunci Angkat Kelas Menengah dari Jurang Stagnasi

JAKARTA - Indonesia saat ini berada di persimpangan penting dalam perjalanan ekonominya.

Kelas menengah yang selama ini menjadi salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi, kini menghadapi tantangan serius.

Dalam beberapa dekade terakhir, kelas menengah di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat.

Menurut Bank Dunia (2020), kelas menengah di Indonesia merupakan segmen populasi yang tumbuh paling cepat, dengan laju 10 persen per tahun.

Jumlah penduduk kelas menengah ini, bahkan diperkirakan akan mencapai sekitar 70 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2045.

Meskipun demikian, dalam lima tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah justru menurun.

Data BPS menunjukkan terjadi penurunan jumlah kelas menengah sebesar 4,32 persen poin, dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024.

Ini adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan, terutama ketika inklusi keuangan di Indonesia, yang menurut laporan pelaksanaan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) tahun 2023, terus meningkat dari tahun ke tahun, hingga mencapai 88,7 persen pada 2023.

Angka ini berarti delapan dari sepuluh penduduk Indonesia, termasuk kelas menengah, memiliki akses ke layanan keuangan formal, seperti rekening bank, kredit, asuransi, dan produk keuangan lainnya.

Proporsi ini menunjukkan sebagian besar masyarakat telah memanfaatkan produk dan layanan keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal.

Di sisi lain, inklusi keuangan telah menjadi agenda global. Pemerintah di berbagai negara terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan untuk memberdayakan masyarakat, mendukung pengentasan kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Inklusi keuangan dianggap sebagai pendorong utama untuk mengurangi kemiskinan ekstrem dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Bahkan, inklusi keuangan telah diidentifikasi sebagai pendorong bagi tujuh dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, G20 juga berkomitmen untuk memajukan inklusi keuangan di seluruh dunia.

Hanya saja, inklusi keuangan bukan sebatas tentang akses fisik, melainkan juga tentang penggunaan aktif layanan keuangan yang tersedia, seperti menyimpan uang di bank, menggunakan dompet digital, atau memanfaatkan kredit.

Menurut Bank Indonesia (2020), inklusi keuangan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang bermanfaat dan terjangkau memungkinkan masyarakat mengelola risiko, meratakan konsumsi, membangun aset, dan berinvestasi dalam pendidikan serta kesehatan.

Semua ini pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan.

Dengan tingkat inklusi keuangan yang sudah cukup tinggi, diharapkan masyarakat mampu mengelola keuangan dengan lebih baik, merencanakan masa depan, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka.

Lalu, mengapa kelas menengah justru terjebak dalam stagnasi ekonomi? Meski inklusi keuangan terus meningkat, banyak wilayah di Indonesia, khususnya penduduk kelas menengah di luar Jawa, masih menghadapi tantangan dalam akses ke layanan keuangan.

Data Potensi Desa 2021 menunjukkan sebaran agen bank dan ATM masih sangat terbatas di sejumlah wilayah, seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua.

Tanpa akses yang merata, sulit bagi kelas menengah di daerah-daerah itu untuk memanfaatkan potensi inklusi keuangan secara maksimal.

Selain keterbatasan akses, tingkat inklusi keuangan di antara masyarakat kelas menengah juga tidak merata.

Berdasarkan Laporan Pelaksanaan SNKI tahun 2021, meskipun kepemilikan akun dan penggunaan produk/layanan keuangan formal pada kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke atas sudah cukup tinggi, dengan 71 persen memiliki akun dan 86,3 persen menggunakan produk/layanan keuangan formal, akses mereka terhadap beberapa produk perbankan dan non-bank masih rendah.

Penggunaan produk dan layanan, seperti pinjaman, internet atau "mobile banking", dan uang elektronik, bahkan masih di bawah 50 persen, dan untuk beberapa produk non-bank, seperti pembelian obligasi, saham, dan reksa dana, penggunaannya masih di bawah 10 persen.

Penurunan jumlah kelas menengah ini menjadi penyemangat bagi pemerintah untuk terus meningkatkan inklusi keuangan. Diperlukan langkah konkret agar kita bisa menghadapi situasi ini. Dengan demikian, Indonesia segera bisa keluar dari jebakan "middle-income trap". Untuk menghindari hal ini, ada beberapa langkah yang perlu diambil.

Pertama, literasi keuangan harus ditingkatkan. Literasi keuangan harus menjadi prioritas dalam strategi inklusi keuangan. Masyarakat, khususnya kelas menengah, perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang produk keuangan, termasuk investasi, agar mereka dapat memanfaatkannya secara optimal.

Kedua, pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur keuangan di daerah-daerah yang tertinggal. Tanpa akses yang merata, inklusi keuangan hanya akan menjadi angka, tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, kebijakan pro-investasi perlu diperkuat. Pemerintah bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu merancang kebijakan yang mendorong masyarakat untuk lebih banyak berinvestasi, misalnya melalui insentif pajak bagi rumah tangga yang berinvestasi atau program-program literasi keuangan yang fokus pada manfaat jangka panjang dari investasi.

Keempat, pendidikan juga harus menjadi prioritas utama. Saat ini, 37,75 persen penduduk kelas menengah masih memiliki pendidikan SMP sederajat atau lebih rendah.

Padahal, pendidikan merupakan variabel signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan.

Penelitian menunjukkan tambahan satu tahun pendidikan dapat mengurangi risiko kemiskinan dan eksklusi sosial sekitar 29 persen.

Inklusi keuangan bukan hanya tentang memberikan akses ke rekening bank. Ini tentang menciptakan peluang nyata bagi setiap rumah tangga kelas menengah untuk berkembang, meningkatkan kesejahteraan, dan melampaui batasan-batasan ekonomi mereka.

Dengan akses ke investasi, literasi keuangan yang memadai, dan pendidikan yang lebih baik, kelas menengah memiliki peluang besar untuk naik menjadi kelas atas.

Jika Indonesia ingin mencegah jebakan kelas menengah dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kebijakan inklusi keuangan yang lebih progresif harus segera diimplementasikan.

Inilah saatnya Indonesia bergerak dari kata-kata menuju aksi nyata, demi memastikan kelas menengah tidak lagi terjebak dalam jurang stagnasi.

Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus bersatu untuk menciptakan ekosistem keuangan yang inklusif, berkelanjutan, dan mampu mendorong mobilitas sosial bagi semua.