Pro Kontra Penerapan Restorative Justice, Bagaimana Memberi Efek Jera pada Anak yang Berkonflik dengan Hukum?
JAKARTA – Penerapan restorative justice terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) menjadi polemik belakangan ini. Pasalnya, kasus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur terus meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa pekan terakhir warganet disuguhkan berita kurang menyenangkan dari Palembang, Sumatra Selatan. Seorang siswi yang masih duduk di bangku SMP, AA (13), meninggal dunia akibat diperkosa dan dibunuh empat orang yang juga masih di bawah umur. Keempat pelaku adalah IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12). Usai melakukan hal biadab tersebut, keempat korban bahkan dengan bangga menceritakan perbuatan mereka kepada rekannya.
Selain IS yang menjadi tersangka utama, tiga tersangka lainnya yakni MZ, MS, dan AS tidak ditahan. Mereka dititipkan di panti sosial rehabilitasi anak bermasalah hukum Indralaya. Sedangkan IS mendekam di rutan Polrestabes Palembang.
Di tengah maraknya kasus perkosaan dan pembunuhan di Palembang, penerapan restorative justice bagi pelaku anak menjadi sorotan. Di satu sisi, penerapan restorative justice kepada ABH dinilai tidak adil, terutama jika melihat korban yang juga anak-anak. Namun di sisi lain, sejumlah pendapat menyatakan penyelesaian perkara pidana dengan konsep restorative justice adalah yang paling tepat.
Dilema Keadilan Restoratif
Mengutip JFB & Partners Indonesian Legal Consultant, pada dasarnya anak-anak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya apabila usianya sudah lebih dari 12 tahun dan belum 18 tahun. Ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (SPPA).
Kemudian dalam Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih.
Namun dalam penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak, harus mengedepankan konsep restorative justice melalui diversi.
Restorative justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang melibatkan semua pihak terkait namun tetap menitikberatkan penyelesaian yang adil serta pemulihan atau pengembalian ke keadaan semula.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra ikut menyoroti tren peningkatan ABH. Dhahana mengaku, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH dapat berjalan dengan efektif.
Ia menjelaskan di Indonesia, restorative justice secara formil baru diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara formil, beleid tersebut adalah tonggak peradilan pidana Indonesia berparadigma restorative justice. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menyatakan sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Terkait kasus pembunuhan dan pemerkosaan AA di Palembang, masyarakat terbagi ke dua kubu mengenai pendekatan restorative justice. Kubu pertama berharap agar pelaku mendapat hukuman setimpal, karena kejahatan yang mereka lakukan di luar nalar kebanyakan orang. Tapi kubu lain menyatakan sebaliknya.
Berikan Manfaat untuk Semua Pihak
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan dalam kasus-kasus berat sekalipun yang dilakukan oleh anak, boleh jadi restorative justice lebih unggul dibandingkan litigasi atau penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Reza membeberkan sejumlah alasan untuk mendukung pernyataan, yang ia sadari kurang populer di kalangan masyarakat saat ini.
“Dari sisi efisiensi waktu dan anggaran, biaya restorative justice lebih rendah daripada litigasi. Artinya kemungkinan dilakukan penghematan besar-besaran bagi negara,” kata Reza.
Sedangkan dari sisi pelaku, restorative justice memiliki manfaat memperkecil peluang residivisme atau kembuhnya perilaku kriminal seseorang. Terakhir, menurut Reza bagi korban kemungkinan mendapatkan ganti rugi lebih besar peluangnya ketika kesepakatan ganti rugi dicapai lewat restorative justice.
“Anak-anak yang melakukan tindak pidana dan penyelesaiannya dilakukan restorative justice tingkat residivismenya lebih rendah daripada anak-anak yang diproses litigasi,” jelasnya.
Reza menambahkan, jika setiap kasus dipaksakan ditempuh melalui litigasi, maka yang terjadi kemudian adalah collateral damage atau Kerusakan yang sangat parah. Karena menurutnya, proses litigasi hanya buka-buka aib dan balas dendam.
“Jadi sesedih apa pun kita, semarah apa pun kita, perlu diberikan ruang untuk akal sehat mempertimbangkan penerapan restorative justice secara hati-hati,” Reza menambahkan.
Kapolrestabes Palembang Harryo Sugihhartono menegaskan keempat pelaku melakukan perbuatan secara sadar dan dalam kondisi sehat. Tak hanya itu, dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku polisi menyebut motif dari keempatnya melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya. Para pelaku diketahui kecanduan konten pornografi.
Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menegaskan, untuk perbuatan yang sanksi hukumnya mencapai tujuh tahun, tentu tidak dapat diterapkan prinsip restorative justice, karena negara wajib melindungi masyarakat dengan memastikan fungsi kesadaran akan kesalahan yang dilakukan dan efek jera, sekalipun pelaku masih di bawah umur.
Baca juga:
- Dualisme Kepemimpinan Kadin Indonesia: Ancaman terhadap Pembangunan dan Dugaan Cawe-cawe Politik
- Didominasi Calon Kelas Menengah, Mampukah Indonesia 2045 Menjadi Negara Maju?
- Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024 Meningkat: Inilah Wujud Pesta Oligarki, Bukan Pesta Demokrasi
- Menanti Pembuktian Dugaan Korupsi di PON XXI Aceh - Sumut yang Kacau Balau
“Apabila sanksi hukum ini ada pemerkosaan, pembunuhan, perlu dilihat bagaimana peran empat pelaku di setiap rentetan peristiwa. Mungkin dari pertama kali membujuk, melakukan kekerasan, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Harus dilihat peran masinh-masing untuk dilihat sanksi hukum yang dapat diberlakukan,” ucap Kasandra.
“Restorative justice ada batasanya. Ketika ada perilaku tertentu, apakah ada kemungkinan potensi untuk jera? Kalau tidak ada (efek jera) tentu harus dilakukan proteksi terhadap masyarakat lain, jangan sampai terjadi lagi karena pelaku tidak jera,” kata Kasandra memungkasi.