Eksklusif, Ketum Hippindo Budihardjo Iduansjah Minta Tunda Realisasi Kenaikan PPN
Aturan soal kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memang sudah diatur dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun saat ini, menurut Ketua Umum Hippindo (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia), Budihardjo Iduansjah, keadaan belum pulih pasca pandemi COVID-19. Karena itu, dia meminta pemerintah menunda realisasi kenaikan PPN.
***
Saat ini, kata Budihardjo, pengusaha di sektor ritel sedang bangkit usai melewati pandemi. Karena itu, semestinya mereka tidak dibebani dengan aturan ini. “Kami sebagai pengusaha mendukung program pemerintah, apalagi yang sudah dikuatkan dalam UU. Namun, kalau boleh mengusulkan, penerapan kenaikan PPN ini ditunda dulu satu atau dua tahun, sembari kami mempersiapkan diri untuk kenaikan ini,” pintanya.
Namun, jika pemerintah tetap tidak bergeming dengan rencana merealisasikan kenaikan PPN ini, sebagai pengusaha ritel, Budi meminta keringanan. “Kami meminta keringanan dari pemerintah. Kalau penundaan tidak bisa, alternatifnya adalah mencicil pembayaran pajak. Efek lain dari kenaikan PPN ini adalah harga jual akan meningkat karena ada beban PPN. Dampaknya, konsumen akan mengurangi pembelian,” lanjutnya.
Dalam situasi seperti ini, ia menyarankan pemerintah mendorong penjualan dan meningkatkan daya beli masyarakat. “Omset kami setahun hampir Rp700 triliun. Kalau ada kenaikan PPN 1%, itu lumayan. Karena itu, kami mengharapkan pemerintah membantu kesejahteraan karyawan sektor ritel. Soalnya, jika harga naik, penjualan akan terkoreksi. Atau bisa juga dengan membantu pengusaha dalam mempromosikan usaha, tujuannya mendongkrak daya beli masyarakat,” papar Budi.
Indonesia, kata dia, masih tertinggal dalam urusan wisata belanja. Orang Indonesia sendiri malah pergi ke Singapura, Malaysia, atau Thailand sebagai tujuan wisata belanja. Soalnya, harga di tiga negara anggota ASEAN itu lebih kompetitif. Menurut Budi, di Indonesia harga lebih mahal 30% sampai 40%. Jadi, tidak heran kalau pusat perbelanjaan di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok menjadi serbuan orang Indonesia. “Ini harus menjadi perhatian. Pemerintah harus menjadikan wisata belanja sebagai sarana mendongkrak perekonomian. Bangkok itu hidup dari wisatawan, salah satunya wisata belanja yang membuat hotel penuh, taksi laris, dan sektor ritel di sana bergairah,” kata Budihardjo Iduansjah kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidiannto, dan Dandi Januar dari VOI yang menemuinya di Sarinah Thamrin, Jakarta, belum lama ini.
Pemerintah akan menerapkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dan akan diterapkan awal tahun 2025, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sebagai pelaku usaha, apa reaksi Anda?
Kami sebagai pengusaha mendukung program pemerintah, apalagi yang sudah dikuatkan dalam UU. Namun, kalau boleh mengusulkan, penerapan ditunda dulu satu atau dua tahun, sembari kami mempersiapkan diri untuk kenaikan ini. Setelah COVID-19 melanda, kami harus memperbaiki urusan domestik dulu. Beri kami waktu untuk pulih terlebih dahulu.
Namun, kalau memang sudah tidak bisa ditunda, kami harapkan ada upaya untuk mengimbangi dengan menstimulasi publik untuk meningkatkan daya beli/belanja. Ini penting karena lebih dari 50% yang menghidupi kita selama ini adalah pasar lokal. Kenaikan PPN bisa dijadikan amunisi untuk menjaga pasar domestik kita. Selain itu, ada juga imbal balik yang diberikan kembali kepada pengusaha. Bentuknya bisa berupa keringanan pajak atau insentif yang bertujuan untuk meringankan beban pengusaha.
PPN naik 1% itu akan ada dampaknya bagi pengusaha, apa saja itu?
Dampaknya, pengeluaran pengusaha akan bertambah dengan naiknya PPN ini. Itu harus dibayarkan setiap bulan, sehingga arus kas (cashflow) pengusaha akan terpengaruh. Sedangkan arus kas kami saat ini difokuskan untuk ekspansi, seperti membeli barang, membuka toko, atau merekrut karyawan baru. Sementara kenaikan PPN ini harus dibayar di muka. Karena itu, kami meminta keringanan dari pemerintah. Kalau penundaan tidak bisa, alternatifnya adalah mencicil pembayaran. Efek lain dari kenaikan PPN ini adalah harga jual akan meningkat karena ada beban PPN. Dampaknya, konsumen akan mengurangi pembelian atau menunda pembeliannya.
Ketika PPN naik, bentuk bantuan yang diharapkan pengusaha adalah penundaan pemberlakuan PPN 12% dan pembayaran yang ditunda, apa alternatif lainnya?
Bisa juga bantuan untuk meringankan beban karyawan di sektor ritel. Omset kami setahun hampir Rp700 triliun. Kalau ada kenaikan PPN 1%, itu lumayan besar. Karena itu, kami mengharapkan pemerintah memberikan perhatian juga dalam bentuk membantu kesejahteraan karyawan sektor ritel. Soalnya, jika harga naik, penjualan akan terkoreksi. Atau bisa juga dengan membantu pengusaha dalam mempromosikan usaha, tujuannya mendongkrak daya beli masyarakat.
Ada juga reklame kami yang dipasang di dalam toko bisa diberi keringanan. Selain itu, untuk videotron promosi, listriknya bisa disubsidi agar kota kita menjadi lebih hidup. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara yang datang, nongkrong, dan berbelanja.
Jadi ada hal yang ditingkatkan dan di lain pihak ada yang dilonggarkan?
Harus imbang ya, menurut saya karena PPN naik jadi 12%, hasilnya dikembalikan lagi ke pengusaha. Dari omset Rp700 triliun lalu meningkat menjadi Rp1.000 triliun berarti pendapatan PPN makin besar. Jadi yang harus dibesarkan itu omset, bukan tarikan iurannya.
Apa lagi program yang akan dilakukan Hippindo dalam upaya menarik pembeli dan meningkatkan omset?
Kami menginisiasi program “Belanja di Indonesia Aja”. Ini baru kita luncurkan di ajang Indonesia Retail Summit yang lalu. Terima kasih kepada Menko Ekuin yang sudah membuka acara ini. Ini adalah upaya untuk mendatangkan turis mancanegara dan mengurangi wisatawan kita belanja ke luar negeri. Kalau PPN naik, untuk turis asing ada program refund 12%. Ini cukup besar dan semoga bisa menarik minat mereka datang. Pengembalian ini harus dipermudah dan ada layanan tambahan, seperti diberi segelas kopi. Jadi, bagaimana membuat turis senang datang ke Indonesia? Harus ada kerja sama antara Kemenkeu dan Kemenpar.
Harus diakui sektor pariwisata kita masih kalah dari Singapura dan Thailand. Ini harus dibenahi. Kota Bangkok itu hidup dari wisatawan asing yang datang. Hotel penuh, taksi laris, dan sektor ritel juga bergairah. Semua menikmati kalau ekosistemnya hidup. Semua harus dibenahi agar turis mau datang.
Dalam wisata belanja, bagaimana daya saing Indonesia jika dikomparasi dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand?
Kita masih kalah dari negara-negara itu. Brand-brand global harganya lebih murah di Malaysia saat ini. Kita lebih mahal 30% sampai 40%. Jadi jangan salahkan kalau orang kita belanja di luar negeri. Jadi brand global yang sudah bayar pajak impor itu harus diberi kemudahan. Mereka tidak bersaing dengan UMKM karena kelas dan segmen pasarnya berbeda. Sama halnya dengan penyanyi luar negeri seperti Taylor Swift, kalau mereka konser di sini, tak akan bersaing dengan penyanyi lokal. Dampaknya, orang kita tidak perlu ke luar negeri untuk nonton konser Taylor Swift.
Yang perlu kita jaga itu adalah barang-barang UMKM dari China, itu perlu kita proteksi agar tidak bersaing dengan UMKM lokal. Apalagi kalau masuknya ilegal, ini harus diberantas. Soalnya bisa mematikan UMKM lokal.
Jadi wisata kita tak melulu keindahan alam dan peninggalan sejarah?
Borobudur dan Bali yang sudah terkenal tak perlu dipersoalkan. Kita mencari celah dan peluang baru dalam wisata belanja, bagaimana sektor ini juga menarik orang untuk datang. Setelah dari Borobudur, turis bisa belanja sebelum pulang. Jadi, saling menguntungkan. Kita memang belum sampai menjadi destinasi belanja, orang kita masih pergi ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok kalau mau belanja. Dengan program “Belanja di Indonesia Aja”, semoga bisa mendongkrak turis, apalagi PPN mau naik.
Untuk IKN Nusantara yang sekarang masih dibangun, apa yang dilakukan Hippindo?
Kalau tidak salah, akan ada mal yang dibangun di IKN Nusantara. Kalau itu sudah jadi, kita akan masuk. Yang paling dekat adalah anggota Hippindo dari Balikpapan yang akan terlibat lebih banyak. Kemarin, saat peringatan HUT RI, kita tidak jadi kirim food truck karena mendadak dan juga ada pengurangan undangan.
Baca juga:
- Eksklusif, Ketum Hippindo Budihardjo Iduansjah, Sektor Makanan Tumbuh, Fashion Terseok-seok
- Hippindo: Pemerintah Perlu Beri Insentif jika Tarif PPN Naik jadi 12 Persen
- Peritel Bisa Rugi Rp21 Triliun per Tahun jika Dilarang Menjual Rokok
- Sudah Bertemu Otorita, Pengusaha Ritel Bakal Kirim Truk Makanan dan Minuman ke IKN
Banyak pusat perbelanjaan yang sepi, tokonya tutup, apakah pemerintah tidak melakukan survei sebelum memberikan izin pendirian pusat perbelanjaan baru?
Saya melihatnya dari sisi optimis. Menurut saya, Jakarta ini masih kekurangan mal. Mengapa mal dan pusat belanja di Jakarta sepi? Karena ada ganjil-genap. Coba kalau dihapus, saya yakin pengunjung mal akan meningkat. Sekarang ganjil-genap berlaku dari jam 16.00 sampai 21.00 WIB, coba diubah jadi 16.00 sampai 19.00 WIB, saya yakin mal akan ramai lagi karena banyak yang bisa datang. Jadi kalau di Jakarta ini diatur kebijakannya yang ramah dengan dunia usaha di mal, mal itu tidak cukup parkirannya. Makanya mal-mal di Jakarta itu ramainya Sabtu dan Minggu, karena bebas ganjil-genap.
Lihat saja mal di pinggir Jakarta seperti Serpong, Bekasi, Tangerang pada weekdays, di sana ramai karena tidak ada ganjil-genap. Kami banyak buka toko di daerah itu. Jadi, kalau kebijakan pemerintah tepat, mal di Jakarta itu masih kurang. Belum lagi kalau ada turis yang masuk.
Pemerintah akan menerapkan cukai untuk minuman berpemanis, apakah anggota Hippindo akan terdampak?
Niatnya bagus agar publik terhindar dari penyakit gula. Tapi menurut saya, kesadaran itu lebih penting. Ini akan mengurangi omset bagi pengusaha maupun ritel. Peraturan soal penjualan rokok juga amat ketat lewat PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan. Peraturan soal halal juga terlalu detil, sampai truk yang mengangkut makanan juga harus ada sertifikat halal. Menurut saya, kita terlalu banyak aturan yang tidak perlu. Bagaimana kita mau menuju Indonesia Emas kalau begini. Soal cukai minuman berpemanis akan menaikkan harga. Konsumen yang akan menanggungnya. Ujung-ujungnya penjualan turun, omset juga begitu. Nanti pembayaran pajak juga akan terdampak.
Jadi solusinya apa menurut Anda sebagai pengusaha?
Indonesia ini negara berkembang. Aturan negara-negara maju belum bisa diterapkan di Indonesia. Kita gunakan saja aturan yang sering digunakan negara berkembang. Nanti kalau sudah naik kelas, baru gunakan aturan yang baru. Jadi, pemerintah harus tahu prioritas, mana yang penting dan yang tidak penting.
Apa harapan Anda pada presiden baru?
Saran saya kepada pemerintahan baru, terus perkuat sektor domestik. Perkuat perdagangan dalam negeri. Sektor konsumsi harus dijaga. Inilah yang menyelamatkan kita saat pandemi COVID-19 kemarin. Saat situasi global kacau, Indonesia masih tenang-tenang saja.
Perkuat sektor dalam negeri itu apa saja rinciannya?
Sandang, pangan harus cukup, harganya stabil, transaksi dan sirkulasi logistik antarpulau lancar. Jadikan penduduk kita yang besar ini sebagai market utama, syukur kalau bisa merambah ke negara lain seperti Asia Tenggara. Pasar kita 300 juta ditambah negara ASEAN 300 juta, jadi itu sudah 600 juta, ini pasar yang sangat besar. Engga usa muluk-muluk, optimalkan produk pangan kita untuk pasar yang besar ini.
Budihardjo Iduansjah, Sambil Menyelam Minum Air
Sebagai Ketua Umum Hippindo (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia), Budihardjo Iduansjah kerap menyambangi berbagai daerah seantero Indonesia dan bahkan mancanegara. Saat itulah ia sekalian berwisata dan mencicipi kuliner di daerah yang ia sambangi. Seperti kata pepatah lama: sambil menyelam minum air.
Keterbatasan waktu dan kesibukan sebagai pengusaha dan pemimpin organisasi membuat Budi jeli memanfaatkan keadaan. Ketika ia bertugas ke daerah sebagai pengurus dan pimpinan organisasi, ia manfaatkan untuk aktivitas lain setelah tugas utamanya tuntas.
“Mengurus organisasi dan juga usaha dalam waktu yang bersamaan membuat waktu itu amat berharga sekali. Jalan-jalan dan wisata adalah sesuatu yang sulit dilakoni. Akhirnya, saya memanfaatkan waktu yang ada saat melakukan tugas organisasi ke berbagai daerah,” paparnya.
Sebelum berangkat ke lokasi tugas, ia sudah riset tentang daerah yang akan dikunjungi atau meminta Hippindo lokal memberikan informasi tentang lokasi wisata dan wisata kuliner yang menjadi unggulan. “Info itu penting agar saya bisa memperhitungkan waktu kunjungan dan berapa lokasi yang akan saya sambangi setelah tugas utama usai,” kata pria yang hobi olahraga lari dan berenang.
Saat ke negeri jiran seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Budi melakukan hal yang sama, yakni berwisata dan mencicipi kuliner khas di kota yang ia kunjungi. Tak jarang ia juga bertemu dengan orang Indonesia yang berwisata ke negara yang sama. Ia penasaran dan melakukan riset kecil-kecilan secara langsung.
“Saya sering sekali bertemu orang Indonesia ketika jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, dan Thailand. Saya penasaran mengapa tempat yang saya sambangi itu banyak dikunjungi orang Indonesia. Ada yang belanja, berobat, dan berwisata,” katanya.
Sebagai seorang pengusaha, ia berpikiran terbuka. “Kalau saya jadi pemerintah, saya permudah regulasi untuk dunia usaha agar bisa membuka cabangnya di Indonesia. Misalnya, rumah sakit yang ramai, tawarkan pengusaha atau investor untuk membuka cabangnya di Indonesia. Ini diharapkan mengurangi jumlah orang kita yang ke luar negeri. Jadi, buang uangnya di Indonesia, enggak usah ke luar negeri,” paparnya.
Lihat, Pelajari, dan Aplikasikan
Yang tak luput dari perhatiannya adalah sektor ritel. “Saya hampir selalu melihat mal di negara yang saya kunjungi dan sektor ritel mereka seperti apa. Lalu saya lihat, pelajari, dan coba terapkan di Indonesia,” kata Budihardjo Iduansjah.
Salah satu program yang kini sedang dilakoni Hippindo, "Belanja di Indonesia Aja," adalah salah satu hasil yang ia komparasi dari negara lain lalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. “Semoga program ini bisa berhasil dan diminati masyarakat serta wisatawan lokal dan mancanegara,” harapnya.
Salah satu hobi yang kerap dilakukan Budi adalah ikut pameran, baik di dalam maupun di mancanegara. Karena sering ikut pameran, dia ingin banyak pameran digelar di kota-kota besar di Indonesia.
“Kalau kita bikin pameran, itu bisa mendatangkan wisatawan dalam dan luar negeri. Peserta pameran yang notabene mereka bisa dari pelaku bisnis atau lembaga pemerintah. Mereka bisa melakukan kesepakatan bisnis setelah pameran, bisa B2B (business to business) atau B2G (business to government). Kalau bisa, Indonesia bikin acara sekelas G20 setiap tahun. Jadi, selalu ada peristiwa yang membuat orang datang ke Indonesia,” lanjutnya.
Konser Musik
Satu lagi yang menjadi perhatian Budihardjo adalah konser musik dan pertunjukan seni. “Kalau bisa, orang saat ingat konser musik kelas dunia, ya ingatnya Indonesia. Jangan kalah dengan negara lain seperti Singapura,” katanya.
Dampak ekonomi dari sebuah konser musik sangat besar. “Makanya Singapura getol sekali bikin konser musik, kemarin Taylor Swift dan Coldplay sampai digelar beberapa hari. Jadi, orang Indonesia dan negara ASEAN lainnya terbang ke Singapura. Saya juga ke sana tapi lewat Batam,” ungkapnya.
Saat itu, kata Budi, hotel dan taksi laris manis. “Mereka yang datang sudah pasti menginap, lalu driver taksi di Singapura panen, mereka bolak-balik mengantar orang Indonesia yang mau nonton konser. Ini dampak ekonominya luar biasa. Makanya konser musik kelas dunia harus bisa diadakan di Indonesia. Jakarta punya kesempatan untuk itu,” katanya.
Pemerintah dan dunia usaha, dalam hal ini promotor musik, bisa berkolaborasi. Perizinan bisa dipermudah pemerintah, perbankan bisa memberikan modal usahanya, dan seterusnya. Jadi, dampak ekonominya ke mana-mana. “Berapa banyak pihak yang kebagian rezeki kalau ada konser musik. Ini kan membuat ekonomi bergerak, sektor ritel juga akan mendapat bagian. Satu konser saja bisa menghidupi banyak orang,” kata Budihardjo Iduansjah.
"Saran saya kepada pemerintahan baru, terus perkuat sektor domestik. Perkuat perdagangan dalam negeri. Sektor konsumsi harus dijaga. Inilah yang menyelamatkan kita di saat pandemi COVID-19 kemarin. Saat ekonomi global kacau, Indonesia masih tenang-tenang saja,"