Marak Kasus Bullying di Sekolah, Perkuat Ekskul Jadi Pendidikan Karakter
JAKARTA - Kasus bullying yang marak terjadi menjadi sebuah keprihatinan dunia pendidikan Indonesia. Komisi X DPR RI pun menilai, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi aksi bullying di sekolah adalah dengan meningkatkan lagi program ekstrakulikuler (ekskul) di sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter.
"Saya tentu sedih mendengar banyaknya kasus perundungan di lingkungan anak sekolah, dan saya mempertanyakan kenapa anak umur segitu seberani dan senekat itu melakukan tindakan keji,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, Jumat 13 September.
“Jawabannya mungkin saja karena kurangnya kegiatan energik di sekolah sehingga kurang terbentuknya pendidikan karakter bagi anak-anak," lanjutnya.
Seperti diketahui, kasus perundungan anak yang tengah menjadi perhatian publik yakni kasus bullying pada siswa SMK Negeri 1 Gorontalo, berinisial AR (14). Ia diduga dipalak dan dipaksa meminum minuman keras oleh beberapa siswa lainnya di lingkungan sekolah.
Beberapa waktu lalu, bullying juga terjadi di SMP 3 Sungguminasa Gowa, Sulawesi di mana seorang siswa dianiayai oleh temannya sendiri hingga terkapar. Video perundungan dengan aksi kekerasan itu viral di media sosial.
Sebelumnya, peristiwa tragis yang melibatkan anak sekolah juga terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Siswi perempuan berinisial AA (13) menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 4 temannya sendiri. Para pelaku semuanya masih di bawah umur.
Dede Yusuf menekankan pendidikan karakter sangat diperlukan untuk menekan kasus perundungan maupun kejahatan anak usia sekolah. Pendidikan karakter salah satunya bisa didapat lewat kelas-kelas ekstrakulikuler yang pada masa-masa sebelumnya merupakan progran wajib di sekolah.
"Ekskul itu bukan pembelajaran akademik, tapi pembelajaran karakter. Nah itulah yang belum banyak memahami, Pemerintah kita masih fokus pada pendidikan akademik saja," sebut Dede.
Menurut pimpinan Komisi Pendidikan DPR tersebut, pendidikan karakter sangat penting dimiliki oleh anak-anak. Dede juga menyebut pendidikan karakter seharusnya ditanamkan sedini mingkin, yang bisa didapat lewat kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
"Ekskul harusnya tetap digiatkan, karena kalau tidak, anak-anak energinya tersalurkan ke hal-hal yang tidak benar. Ketika ekskul ataupun kegiatan aktivitas anak muda menjadi kurang terperhatikan maka anak-anak ini perlariannya nongkrong, minum-minum atau melakukan hal-hal yang tidak terpuji," paparnya.
"Sementara kalau kita lihat generasi dulu itu kan ekskul banyak tuh bahkan sampai sore. Jadi tidak membuat anak-anak itu energinya habis hanya untuk main game online atau hal-hal yang bersifat negatif," sambung Dede.
Saat ini, kegiatan ekskul di sekolah hanya bersifat pilihan sehingga kurang mendapat atensi. Apalagi, menurut Dede, pihak sekolah tidak mendapat dukungan pendanaan dari Pemerintah sehingga ekskul di sekolah hanya sekadar formalitas saja dan hasilnya kurang efektif.
"Sekarang untuk ekstrakurikuler masih ada di sekolah, tapi kan hanya sekadar pilihan. Kalau tidak wajib kan anak-anak lebih banyak tidak mengikutinya," ungkapnya.
Untuk itu, Dede mendorong Pemerintah memberikan dukungan dana untuk program ekskul di sekolah. Terutama bagi sekolah-sekolah negeri yang memiliki banyak siswa dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sebab biasanya, siswa dari kalangan menengah ke atas lebih memiliki akses kegiatan ekstrakulikuler mandiri di luar sekolah melalui kursus-kursus.
"Melihat kasus perundungan yang terjadi oleh anak-anak kerap terjadi pada kalangan menengah ke bawah. Karena mereka kurang memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan pendidikan karakter di luar sekolah, sementara ekskul di sekolah kurang sehingga penyaluran energi mereka ke hal-hal negatif," terang Dede.
Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu mengungkapkan, saat ini dana BOS dari Pemerintah bagi sekolah belum bisa menunjang pendanaan kegiatan ekstrakurikuler. Sementara, menurut Dede, sekolah juga mengalami dilema apabila meminta iuran bagi pelaksanaan ekskul yang biasanya membutuhkan guru atau pelatih dari luar sekolah.
"Sebetulnya begini, dulu itu ekskul juga semua mandiri namanya bayar iuran. Tapi kemudian setelah era orang memahami bahwa sekolah itu gratis maka ketika ada iuran dianggap pungli padahal mestinya iuran itu adalah sebuah komitmen kita untuk mendapatkan ilmu," jelas Dede.
Salah satu ekskul yang dapat menunjang pendidikan karakter anak dalam kaitannya dengan isu bullying misalnya adalah dengan mengikuti ekskul bela diri seperti Pencak Silat, Taekwondo, Karate, Kungfu dan lain-lain.
"Bullying ini kan antara ada yang menzalimi dan ada yang takut. Dulu saya dibully juga kemudian saya ikut Pencak Silat. Ketika belajar bela diri maka anak akan belajar bertahan dan bisa membela dirinya sendiri, akhirnya timbul kepercayaan diri,” katanya.
Dede memberi contoh misalnya di negara China dan Korea Selatan yang mewajibkan pendidikan bela diri sebagai pelajaran wajib di pendidikan dasar karena memiliki banyak manfaat.
“Karena di seni bela diri juga ada yang namanya pelatihan motorik, pelatihan tanggung jawab, fisik, sensorik, keberanian dan banyak lagi,” ujar Dede.
Sayangnya di Indonesia, paradigma seni atau olahraga bela diri saat ini lebih banyak diarahkan untuk kegiatan prestasi. Padahal, menurut Dede, bela diri seharusnya menjadi ilmu dasar yang harus dimiliki setiap orang karena menyangkut pertahanan diri, sama halnya seperti berenang.
“Jadi belajar bela diri tidak harus untuk menjadi atlet, tapi penjagaan diri itu yang lebih penting. Pendidikan bela diri itu menjadi penting di sekolah, terutama di pendidikan dasar,” urai mantan Wagub Jawa Barat itu.
Banyak pakar mengatakan, bela diri bagi anak-anak sangat penting untuk pertahanan diri mereka agar terhindar bullying. Ilmu bela diri juga dapat menghindari anak menjadi pelaku bullying karena kental dengan ilmu kedisiplinan dan banyak mengajarkan banyak hal soal nilai-nilai etika dan moral.
Kemampuan bela diri juga dapat membuat anak lebih bisa menguasai diri sehingga tidak akan asal memukul atau menendang orang lain tanpa ada alasan yang masuk akal. Di sisi sebaliknya, anak yang memiliki kemampuan bela diri sudah pasti bisa membela dirinya dari perundungan dengan cara-cara kekerasan.
Tak hanya ekskul bela diri, pendidikan karakter sebagai pencegahan dari tindak perundungan juga bisa didapat dari kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Misalnya Paskibra yang kuat akan nilai-nilai kedisiplinan, maupun bentuk ekskul yang berfokus pada nilai-nilai kepemimpinan maupun sosial seperti palang merah remaja (PMR).
“Kan banyak ya ekskul yang mengajarkan ilmu leadership, serta simpati dan empati. Ada Pramuka, Paskibra, PMR, pecinta alam buat yang suka naik gunung, teater dan musik buat yang suka seni, atau ekskul olahraga kaya Basket, Sepakbola, Voli dan lainnya yang mengajarkan pentingnya kerja sama dan keuletan,” kata Dede.
Dede pun mengimbau orangtua untuk mendorong anak-anaknya agar mengikuti banyak kegiatan ekskul di sekolah.
“Orangtua perlu memberi motivasi dan pemahaman bahwa ekskul ini penting. Karena selain bisa menunjang prestasi, ekskul juga menjadi wadah anak bersosialisasi ke arah positif. Manfaat ekskul pasti juga akan dirasakan orangtua pada akhirnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Dede menekankan pentingnya kehadiran orangtua dalam pendidikan karakter anak. Sebab keluarga adalah tempat terdepan bagi anak dalam memperoleh pendidikan karakter.
“Kalau orangtua tidak hadir, dalam arti tidak fokus pada pendidikan karakter, sudah pasti nilai-nilai etika moral anak menjadi kurang. Sekarang yang ada itu orangtua memberikan atensi pada pendidikan karakter kalau sudah ada kejadian,” tukas Dede.
“Ada yang dibawa ke pesantren, psikolog, bahkan ada yang dipasung dan pemasungan itu tidak dibenarkan. Harus diingat, anak itu energinya berlebihan dan itu normal karena proses hormonal, proses tumbuh kembang. Dia banyak ingin tahu. Ketika dia tidak diberi tahu, dia akan mencari tahu dari teman-temannya, dari lingkungan, dari internet, yang kadang akhirnya jadi salah informasi,” tambahnya.