Kontribusi Devisa Industri Sawit Capai Rp151,5 Triliun per Mei 2024
BELITUNG TIMUR- Industri kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi negara. Hingga Mei 2024, industri sawit tercatat memberikan devisa ke negara sebesar 9,78 miliar dolar AS atau setara dengan Rp151,5 triliun (asumsi kurs Rp15.495 per dolar AS).
Hal ini diungkap oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martorno dalam Presstour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian di Belitung TIMUR, Rabu, 28 Agustus.
“Sampai Mei 2024, kontribusi sawit terhadap devisa negara adalah 9,78 miliar dolar AS atau disini 10,01 persen dari ekspor kita non migas,” jelas Eddy.
Meski sumbangan industri sawit cukup besar, Eddy mengatakan angkat tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan kinerja ekspor yang mengelami penurunan.
Di tahun 2020, sambung Eddy, industri sawit sempat menyumbang sekitar 22,7 miliar dolar AS. Kemudian di 2021 pada saat COVID-19, naik menjadi 34,9 miliar dolar AS.
Di 2022 tercatat kembali naik menjadi 37,7 miliar dolar AS. Lalu, di tahun 2023 mengalami penurunan kembali menjadi 29,54 miliar dolar AS.
“Dalam lima tahun terakhir ini memang produksi kita stagnan,” jelasnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan Gapki, pada 2020 produksi minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya mencapai 51.583 ton. Kemudian, di 2021 turun tipis menjadi 51.300 ton. Di 2022, produksinya juga tercatat kembali turun menjadi 51.248 ton.
Namun, produksi CPO dan turunannya kembali naik di tahun 2023 menjadi 54.844 ton. Sedangkan per Mei 2024, produksi tercatat mencapai 22.145 ton.
Eddy mengatakan berkaca pada jumlah tersebut, produksi sawit masih perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan merealisaikan program sawit rakyat (PSR).
Baca juga:
“Produktivitas kita juga tidak mengembirakan. Kenapa demikian? karena memang kita seharusnya sudah melakukan replanting utamanya untuk sawit rakyat,” jelasnya.
Namun, Eddy mengakui pelaksanaan replanting tidak mudah karena menghadapi banyak kendala di lapangan. Mulai dari tumpang tindih lahan hingga tumpang tindih kebijakan.
“Nah ini kita agak terlambat disini yang PSR ini. Sehingga produktivitas kita bukannya naik, malah justru turun. Produksi kita stagnan,” katanya.