Sri Mulyani Ungkapkan Alasan Ekonomi AS Tetap Tangguh meski Cetak Banyak Dolar
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ungkapkan alasan ekonomi Amerika Serikat (AS) tidak terkena inflasi meski mencetak banyak dolar lantaran sebagai langkah untuk menstabilkan ekonomi atau sebagai bentuk countercyclical.
Hal tersebut diungkapkan saat Sri Mulyani menjadi dosen tamu dan memberikan kuliah perdana Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Senin, 26 Agustus.
Sri Mulyani menegaskan bahwa AS saat ini ikut terhantam inflasi dan membuat dunia terkejut, meski sudah berangsur melandai.
"Kok AS bisa cetak uang banyak sekali tapi kena inflasi juga? Inflasi yang terjadi pada 2022-2023 dan sampai sekarang itu membuat terkejut juga," kata Sri Mulyani dipantau dari YouTube FEB UI, Senin, 26 Agustus.
Sri Mulyani menjelaskan upaya dalam mencetak dolar dilakukan AS sebagai bentuk countercyclical. Kondisi ini, pernah terjadi pada saat krisis ekonomi global pada 2008-2009 dan pandemi Covid-19 sebagai bentuk untuk mendongkrak ekonomi yang lemah.
"Kalau ekonomi lemes, dongkrak pakai moneter dengan menurunkan suku bunga dan cetak banyak uang kemudian ekonomi muter. Kalo fiskal pakai defisit, pakai utang," jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa AS merupakan salah satu ekonomi terbesar di dunia dan memiliki privilege atau hak istimewa yang tidak dimiliki negara lain bahkan dari jajaran G7 sekali pun.
"Nah AS memiliki previlige yang tidak dimiliki dimiliki ekonomi negara bahkan di G7," katanya.
Selain itu, Bendahara Negara menjelaskan bahwa AS juga banyak memonopoli sektor teknologi. Kondisi ini membuat AS menggunakan dolar sebagai bagian dari proxy kekuatan dalam geopolitik mereka.
"Kok bisa Bu? Ya bisa karena banyak negara-negara lain yang nilai tukarnya tidak kredibel. Jadi banyak negara yang sukarela pada akhirnya menggunakan dolar AS," ujarnya.
Baca juga:
Sri Mulyani mencontohkan seperti Hongkong dan Singapura yang sempat menggunakan dolar sebagai mata uang negara. Bahkan, Arab Saudi juga secara tak langsung menggunakan dolar AS sebagai bagian dari transaksi ekspor minyak bumi mereka. Sehingga tidak heran, banyak negara yang mengandalkan dolar karena belum memiliki bank sentral dengan reputasi yang baik.
"Ekonomi AS itu 28 persen ekonomi dunia. Penggunaan dolar AS hampir 60 persen (di dunia), tapi sudah mulai menurun ke 50 persen," katanya.
Sri Mulyani menambahkan munculnya China sebagai kiblat perekonomian dunia baru membuat dolar AS mendapat tandingan dan membuat negara-negara lain seperti Indonesia, mencari alternatif lain dalam penggunaan mata uang, agar tak bergantung pada negara-negara tersebut.
"China membeli banyak sekali surat utang AS dan mereka log in menjadi setara. Antara AS dan China sekarang tidak bisa dipisahkan. Ini yang disebut kompetisi kekuatan geopolitik, dan di sinilah muncul alternatif," ujarnya.