Kemenkop UKM Sebut RI Hadapi Deindustrialisasi dalam Kurun Waktu 10 Tahun ke Depan

JAKARTA - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menyebut, bahwa dalam 10 tahun ke depan, Indonesia dihadapkan masalah deindustrialisasi.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM Temmy Setya menyebut, bahwa fase deindustrialisasi sudah terasa dari data-data yang dihimpun.

Dari kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah tercatat di bawah 20 persen dan berdampak pada masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Saya rasa dalam waktu 10 tahun ke depan, bisa terjadi deindustrialisasi. Sekarang sudah terjadi deindustrialisasi. Data PDB kami sudah di bawah 20 persen, dampaknya kalau terus terjadi lapangan kerja akan semakin berkurang," ujar Temmy dalam sambutannya pada acara Jakarta Internasional Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu, 7 Agustus.

Dia menambahkan, saat ini kecenderungan pelaku usaha yang memiliki modal enggan untuk berinvestasi membangun manufaktur baru atau pabrik baru. Namun, pelaku usaha cenderung lebih memilih produk bahan baku impor yang jauh lebih murah.

"Mereka lebih cenderung membeli produk impor yang harganya lebih murah, bisa langsung mendapatkan profit," katanya.

Menurut Temmy, pihaknya juga melihat bahwa pasar di Indonesia sudah digempur oleh barang-barang impor sampai saat ini. Apabila hal tersebut tetap dibiarkan, RI akan sangat sulit untuk keluar dari middle income trap.

"Untuk itu, semangat membangun ekonomi dari bawah, UMKM, menjadi usaha besar menjadi hal sangat penting saat sekarang ini," ungkapnya.

Dalam kesempatan berbeda, Temmy menyebut, ada 50 persen impor tekstil dan produk tekstil (TPT) China tidak tercatat masuk ke Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya gap antara nilai ekspor China ke Indonesia dan data impor Indonesia dari China.

Temmy mengatakan, hal tersebut berdasarkan data yang sudah diolah oleh Kemenkop UKM, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) serta Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).

Adapun nilai produk tekstil China ke Indonesia mencapai Rp29,5 triliun mengacu data di 2022. Kemudian pada 2021, nilai tekstil China ke Indonesia yang tidak tercatat senilai Rp29,7 triliun.

Sementara itu, data eskpor China ke Indonesia hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan nilai impor Indonesia dari China. Sehingga, muncul selisih yang besar pada kode HS nomor 61-63.

"Ada 50 persen nilai impor yang tidak tercatat. Artinya, angka ekspor yang masuk ke China dengan angka impor kami tidak seimbang. Artinya, kami menduga ada produk yang masuk secara ilegal," ujar Temmy dalam diskusi media di kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Selasa, 6 Agustus.