Skandal Hasyim Asy'ari Wajib Dilanjutkan ke Proses Hukum
JAKARTA - Pemberhentian Ketua Komisi Pemilihan Umum RI Hasyim Asy'ari merupakan sanksi yang diberikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) setelah diduga melakukan pelanggaran etik dan tersandung kasus asusila. Keputusan ini diambil demi menjaga integritas dan martabat lembaga penyelenggara pemilu. Keputusan DKPP memberhentikan Hasyim Asy'ari setidaknya bisa dijadikan momentum dan efek jera dengan menindaklanjuti ke proses hukum atas perbuatan yang terjadi.
Kasus asusila yang diduga dilakukan Hasyim Asy'ari bukan kasus yang biasa saja atau remeh temeh. Di dalamnya terdapat unsur relasi kuasa antara Hasyim Asy'ari sebagai Ketua KPU dengan sosok wanita bernisial CAT anggota dari Panitia Penyelenggara Pemilu Luar Negeri (PPLN) dari Den Haag. CAT merupakan warga Indonesia yang tinggal di Belanda dan menjadi bawahan dari Hasyim Asy'ari.
Skandal ini seakan menunjukkan relasi kuasa telah menjadi modus untuk mewujudkan kekerasan seksual yang terjadi. Relasi kuasa bisa bermakna salah satu memiliki kendali dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pihak lainnya. Dalam konteks kerja, relasi ini bisa terbentuk melalui hierarki jabatan, otoritas, dan akses terhadap sumber daya.
Baca juga:
Menurut Michael Foucault seorang filsuf pelopor strukturalisme, kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan. Dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat menciptakan kekuasaan.
Foucault menekankan bahwa pembentukan wacana tidak terlepas dari kekuasaan, yang bukan hanya dimiliki individu tetapi juga dipraktikkan dalam ruang sosial. Dalam hal ini, wacana tidak hanya merupakan media komunikasi, tetapi juga merupakan alat yang mengorganisir perubahan sosial dan mengeklaim kebenaran dengan pengaruhnya terhadap institusi dan praktik sosial.
Klaim akan kebenaran ini adalah bentuk ekspresi dari kekuasaan sebagai wacana yang dapat mempengaruhi kesadaran orang serta mengarahkan mereka pada gagasan dan konsep tertentu. Wacana semacam ini memiliki kemampuan untuk mengendalikan tindakan dan perilaku seseorang sesuai dengan kehendaknya (Foucault,2002). Dan pada akhirnya meletakkan dalih, bahwa kekuasaan adalah segala-galanya.
Menurut Pakar Sejarah dari Universitas Andalas, Ahmad Muhajir mengatakan relasi kuasa bisa memiliki peran dari berbagai aspek kehidupan. Di mulai dari ideologi sampai pada dimensi fisik tubuh, yang pada akhirnya memengaruhi sikap dan pemikiran seseorang.
"Relasi kuasa memainkan peran dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ideologi sampai pada dimensi fisik tubuh, yang pada akhirnya memengaruhi sikap dan pemikiran seseorang. Dinamika kekuasaan hadir dalam setiap tingkatan masyarakat, baik antara pemimpin dan warga, antara warga dengan individu, maupun antara individu satu dengan yang lain," katanya dalam pesan tertulis.
Meski di dalam undang-undang tidak ditemukan relasi kuasa secara spesifik, namun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum mengatur bahwa Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.
Hasil penelitian Pusat Pengembangan Sumberdaya untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilakukan Rifka Annisa pada 2018 lalu sebenarnya sudah mengungkap bahwa ketimpangan relasi kuasa merupakan penyebab utama terjadinya kasus pelecehan atau kekerasan seksual.
Hasil penelitian itu menyebutkan, ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Contohnya, kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa, orangtua terhadap anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya.
Bahkan, relasi kuasa bisa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung. Karena itu, berdasarkan penelitian tersebut, kurang tepat jika menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi hanya karena soal rendahnya moral atau nafsu birahi.
Mengenal Jenis Kekerasan Seksual
Istilah kekerasan seksual secara eksplisit tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun dalam ketentuan Pasal 1 Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993 menguraikan gambaran umum makna kekerasan terhadap perempuan. Pakar hukum dari Universitas Atmajaya, Riki Perdana R Waruwu menjelaskan setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis.
"Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan perampasan kemerdekaan," katanya.
Komisioner Pemantauan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menegaskan pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Pelecehan seksual merupakan perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki. "Bentuknya bisa dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik," katanya dalam pesan yang tertulis yang diterima VOI.
Sementara itu menurut psikolog, Meity Arianty STP.,M.Psi. menyebutkan pelecehan seksual merupakan segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya, bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan.
Karenanya, pendidikan dan pelatihan mengenai kesadaran gender dan kekerasan seksual juga harus diberikan kepada semua level staf. Tujuannya untuk mencegah atau memastikan di lingkungan kerja, bahwa setiap individu mengetahui hak dan kewajibannya.
Jangan hanya di Kampus, Aturan PPKS Perlu Diberlakukan di Setiap Sektor Kehidupan
Jauh sebelum kasus Hasyim Asy’ari mencuat, tahun 2021 melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan yang terbit pada 31 Agustus itu mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
Secara gamblang, salah satu ketentuan yang diatur dalam peraturan itu yakni terkait ketimpangan relasi kuasa penyebab kekerasan seksual di kampus. Pasal 1 Permendikbud Ristek 30/2021 menyatakan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optima
Dalam Permendikbud Ristek 30/2021, kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi. Setidaknya ada 21 bentuk kekerasan seksual yang secara tegas diatur dalam aturan tersebut. Salah satunya, mengatur ketiadaan persetujuan dari korban dalam sehingga suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Kemudian, tindakan diskriminasi atau pelecehan yang berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual.
Adanya relasi kuasa yang timpang menjadi salah satu penyebab langgengnya kekerasan seksual di masyarakat. Belum lagi bila kita bicara proses hukum yang berperspektif korban seharusnya mampu menekan kejahatan ini. Padahal dalam kenyataannya, jalan menuju keadilan bagi korban kerap pelik dilalui, belum lagi adanya tekanan yang membuat korban kekerasan seksual tidak berani melapor.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati menilai, berulangnya kasus kekerasan seksual yang disebabkan relasi kuasa menunjukkan bahwa belum berubahnya paradigma atau perubahan cara pikir perubahan budaya di masyarakat, terutama pihak-pihak yang memiliki posisi relasi kuasa.
Terlebih, mayoritas penyelesaian kasus kekerasan seksual masih tidak memenuhi rasa keadilan, bahkan beberapa penyelesaian ditempuh dengan jalan mediasi atau kekeluargaan. Dia menegaskan, jalan tengah sebenarnya bukan jalan yang adil bagi korban. Namun, kondisi ini masih ditemui karena korban kekerasan seksual masih dipandang sebagai aib bagi mayoritas kalangan.
“Hal ini miris, ibaratnya korban kekerasan seksual justru sudah jatuh malah tertimpa tangga. Ketika masyarakat tidak mampu bertindak tegas atau adil terhadap korban bentuk-bentuk kekerasan seksual, akhirnya itu menjadi impunitas,” tukas Mike.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi menambahkan, kasus kekerasan seksual yang dibawa ke ranah litigasi kerap menemui jalan buntu pada mekanisme penegakan hukum bagi pelaku. Akhirnya, korban tidak mendapatkan keadilan secara utuh, akibat dari perspektif aparat penegak hukum yang bias gender.
“Oknum APH kerap menambah kekerasan berlapis bagi korban. Karena itu, penanganan melalui penegakan dan implementasi hukum masih menemui jalan gelap bagi keadilan korban, termasuk pemenuhan hak pemulihan korban masih terabaikan,” tuturnya.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, sosialisasi dan edukasi yang lebih masif mengenai produk-produk hukum dan aturan dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan. Salah satunya adalah Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Relasi kuasa bisa diputus dengan penerapan tegas UU TPKS. Masyarakat pun harus lebih teredukasi mengenai ancaman yang didapat apabila melakukan pelecehan seksual, sekecil apapun itu. Literasi yang baik juga akan meningkatkan awareness masyarakat kepada korban kekerasan seksual,” katanya.
Dia berharap agar penerapan penegakan hukum dalam UU TPKS akan menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Dengan demikian, maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
“Kasus kekerasan seksual menjadi tanggung jawab kita semua. Sudah ada regulasi penerapan hukum bagi para pelaku kekerasan seksual. Maka implementasikan dengan baik,” tutup Puan.