Olimpiade Paris, Prancis Gencarkan Perang Pakaian hingga Tas Bermerek Palsu

JAKARTA - Di pasar Saint-Ouen yang ramai dikunjungi turis, tidak jauh dari Stade de France tempat para atlet akan bertanding di Olimpiade Paris musim panas ini, petugas polisi menyerbu masuk pada 3 April.

Polisi menutup 11 toko yang menjual barang palsu dari tas dan sepatu.

Mereka menyita 63.000 potong pakaian, sepatu, dan barang-barang kulit, termasuk Louis Vuitton dan Nike palsu, membuka produk dan langsung membuangnya ke truk sampah. Sepuluh orang ditangkap.

Michel Lavaud, kepala keamanan polisi di pinggiran kota Seine-Saint-Denis yang akan menjadi tuan rumah acara atletik dan renang Paris 2024, menggambarkan operasi tersebut sebagai bagian dari tindakan keras pra-Olimpiade terhadap barang tiruan.

Fesyen palsu adalah bisnis besar. Pakaian bermerek palsu saja diperkirakan menyebabkan hilangnya penjualan rata-rata perusahaan di Prancis sebesar 1,7 miliar euro (1,83 miliar dolar AS) setiap tahun antara tahun 2018 dan 2021, menurut Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa.

“Kami telah membicarakan masalah pemalsuan selama dua tahun terakhir,” kata Lavaud dilansir Reuters, Selasa, 9 Juli.

Penggerebekan di ibu kota mode dunia ini memiliki kemiripan dengan pembersihan yang dilakukan oleh tuan rumah Olimpiade sebelumnya seperti Beijing pada tahun 2008, yang memberikan hasil beragam, serta London pada tahun 2012 dan Rio pada tahun 2016.

Namun tindakan keras polisi terhadap pedagang kaki lima di Seine-Saint-Denis, di mana satu dari tiga orang hidup dalam kemiskinan menurut statistik nasional Perancis, telah menuai kritik karena membuat masyarakat yang sudah berada dalam situasi ekonomi yang sulit semakin mengalami kesulitan.

Axel Wilmort, seorang peneliti di lembaga ilmu sosial Perancis untuk studi perkotaan LAVUE, mengatakan dia telah melihat peningkatan tajam dalam kehadiran polisi dan ‘penindasan; terhadap penjual pasar informal di pinggiran kota Paris selama tiga bulan terakhir.

“Ada keinginan untuk menghapus semua tanda-tanda kerawanan, kemiskinan dan hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya, seraya menyebut aparat penegak hukum seringkali tidak membedakan antara penjual palsu dan penjual barang bekas yang sah.