Mantan PM Malaysia Najib Razak Ditangkap Terkait Skandal Korupsi 1MDB dalam Memori Hari Ini, 3 Juli 2018

JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 3 Juli 2018, lembaga anti rasuah Malaysia, Suruhanjaya Pemberantasan Rasuah Malaysia (SPRM) menangkap mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Najib Razak. Penangkapan itu dilakukan karena Najib dituduh telah melakukan korupsi yang merugikan negara.

Sebelumnya, dana cukup besar masuk ke dalam rekening pribadi Najib pada saat dirinya ikut kontestasi Pemilu Malaysia 2013. Najib menyebut dana itu adalah hibah dari Arab Saudi. Rakyat Malaysia pun tak percaya. Najib mulai dicurigai telah melakukan korupsi uang negara.

Pengaruh nama orang tua dalam membuka jalan politik anaknya tak dapat dianggap remeh. Ambil contoh seorang Najib Razak. Ia mampu memanfaatkan jalan politik yang dirintis oleh ayahnya yang mantan PM Malaysia Kedua era 1970-1976, Abdul Razak Hussein.

Kondisi itu membuat jalan politiknya moncer. Najib mampu duduk di kursi parlemen pada usia 23 tahun. Kariernya terus menanjak. Ia pernah menjabat sebagai menteri, dari menteri pendidikan hingga keuangan.

Mantan PM Malaysia era 2009-2018, Najib Razak kala memberikan keterangan di kantor KPK Malaysia, SPRM pada 2018. (ANTARA)

Jejak langkahnya dalam dunia politik semakin mantap kala mendampingi Abdullah Ahmad Badawi sebagai Wakil PM Malaysia sedari 2004. Najib pun beruntung kala rakyat Malaysia mulai menghujani Badawi dengan kecaman.

Kepemimpinan Badawi dianggap tak mampu memberantas korupsi di Malaysia. Tuntutan rakyat semakin deras. Badawi pun segera mengajukan pengunduran diri. Alhasil, Najib menjelma jadi PM Malaysia yang baru pada 2009.

Kepemimpinan Najib dianggap membawa harapan. Najib mulai mencoba membawa narasi untuk menumbuhkan ekonomi dan makmurkan rakyat. Namun, keinginan itu muluk-muluk. Alih-alih dapat membuktikan keinginannya, Najib justru terjerat skandal korupsi.

Dana hampir sebanyak 700 juta dolar AS masuk ke dalam rekeningnya secara bertahap pada 2009. Dana itu dianggap untuk jadi amunisinya kala berlaga di Pemilu 2013 dan menang. Banyak politisi dan rakyat Malaysia curiga dana yang masuk ke rekening pribadinya sebagai bentuk korupsi. Namun, Najib berkelit.

Ia menganggap dana itu dikirim oleh Arab Saudi untuk memutus mata rantai Islam radikal di Malaysia. Rakyat Malaysia pun tak langsung percaya. Mereka meyakini Najib justru menggarong uang dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB) lebih banyak hingga mencapai miliaran dolar. Najib lalu meredam suara mereka yang mengkritik dengan kekuatan politiknya sebagai PM.

“Muhyiddin Yassin ikut mengkritik atasannya. Namun, bukannya menerima klarifikasi, ia malah diganti dengan Menteri Dalam Negeri Zahid Hamidi-loyalis Najib. Jaksa Agung Abdul Gani Patail, yang menginvestigasi skandal ini, juga digusur.”

“Nur Jazlan Mohammad, yang sebelymnya Ketua Komite Rekening Publik (PAC) untuk menyelidiki kasus ini, digeser menjadi Wakil Menteri Dalam Negeri. Dua surat kabar finansial, The Edge Weekly dan The Edge Financial Daily, dilarang terbit selama tiga bulan terhitung sejak 27 Juli 2015,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Krisis Legitimasi PM Najib (2015).

Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Begitu pula dengan nasib Najib. Ia yang tak lagi jadi PM Malaysia sedari Mei 2018 mulai diusut kembali dalam skandal 1MDB. Rakyat Malaysia pun mulai memelesetkan 1MDB sebagai Satu Malaysia Dalam Bahaya.

Kritik pedas dari seorang aktivis Malaysia, Fahmi Reza tentang korupsi yang dilakukan Najib Razak dan banyak pejabat negara. (BBC/Twitter/Fahmi Reza@kuasasiswa)

KPK Malaysia, SPRM pun mulai menyelidiki aset-aset yang dimiliki oleh Najib. Hasilnya, tuduhan korupsi itu membuat Najib ditangkap di kediamannya, di Jalan Langgak Duta, Kuala Lumpur pada 3 Juli 2018.

Berita ditangkapnya mantan PM Malaysia pun mengebohkan seisi Malaysia, lalu Asia. Najib lalu dibawa ke Penjara SPRM di Putrajaya.

"Najib akan disidang pada 4 Juli 2018 besok pada pukul 08.30 pagi di Mahkamah Kuala Lumpur," ungkap keterangan Gugus Tugas 1MDB sebagaimana dikutip laman ANTARA, 3 Juli 2018.