Pakar PBB Sebut Junta Militer Myanmar Masih Bisa Mengakses Senjata dan Uang di Luar Negeri
JAKARTA - Pakar PBB dalam laporan yang diterbitkan Hari Rabu menyebutkan, upaya internasional untuk mengisolasi junta militer Myanmar tampaknya telah menghambat kemampuannya untuk membeli peralatan militer baru dari luar negeri, tetapi militer masih dapat mengakses uang dan senjata untuk perangnya melawan pasukan antikudeta.
Myanmar telah dilanda kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih dalam kudeta tahun 2021, yang memicu sanksi keuangan yang dijatuhkan pada militer, bank dan bisnis terkait lainnya oleh negara-negara Barat.
Lebih dari tiga tahun kemudian, gerakan protes terhadap kudeta telah berkembang menjadi perang saudara besar-besaran, dengan militer dituduh melancarkan serangan udara terhadap pemberontak dan warga sipil karena telah kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah.
Laporan oleh pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar Tom Andrews menemukan, nilai senjata, teknologi penggunaan ganda, peralatan manufaktur dan material lain yang diimpor oleh junta berjumlah 253 juta dolar AS dalam setahun hingga Maret 2024.
Jumlah tersebut sepertiga lebih sedikit dari tahun sebelumnya, kata laporan itu, berkat upaya Singapura untuk mencegah perusahaannya membantu junta.
Andrews mengatakan kepada Reuters, kemajuan tersebut menunjukkan sanksi dan upaya internasional lainnya dapat berdampak pada kemampuan junta untuk memasok kembali, dan karenanya mengurangi kemampuan militer untuk melancarkan serangan seperti serangan udara yang telah menewaskan warga sipil di desa-desa mereka.
"Cara mereka menyerang desa-desa ini bergantung pada akses mereka ke senjata dan material yang dipasok dari luar negeri," kata Andrews, melansir Reuters 26 Juni.
Militer Myanmar membantah tuduhan telah melakukan kekejaman terhadap warga sipil, mengatakan mereka memerangi "teroris."
Sementara, para pejabat telah mengecilkan dampak sanksi, mengatakan hal tersebut hanya akan menunda rencana militer untuk mengembalikan negara itu ke demokrasi.
Andrews mengamati pembelian oleh entitas yang dikendalikan oleh kementerian pertahanan junta, mengidentifikasi pengadaan militer senilai 630 juta dolar AS antara tahun 2022 dan 2024.
Laporan tersebut mengatakan, ekspor dari Singapura turun dari lebih dari 110 juta dolar AS pada tahun fiskal 2022 menjadi hanya lebih dari 10 juta dolar AS.
Namun, negara tetangga Myanmar, Thailand, sebagian mengisi kesenjangan tersebut. Perusahaan yang terdaftar di Thailand mentransfer senjata dan material terkait senilai 120 juta dolar AS pada tahun fiskal 2023, dibandingkan dengan 60 juta dolar AS pada tahun sebelumnya.
Baca juga:
- UNRWA: 10 Anak Kehilangan Salah Satu atau Kedua Kakinya Setiap Hari di Gaza
- Perang Hamas dan Israel Terus Berlanjut, Risiko Tinggi Kelaparan Masih Membayangi Gaza
- Temui Menteri Luar Negeri Schallenberg, Menlu Retno Dorong Austria Akui Negara Palestina
- Gedung Parlemen Dibakar dan Lima Orang Tewas, Presiden Kenya Ruto Kecam Protes RUU Keuangan
"Dalam contoh yang mencolok, pada tahun 2023, perusahaan yang terdaftar di Thailand menjadi sumber suku cadang SAC untuk helikopter Mi-17 dan Mi-35 yang sebelumnya disediakan oleh perusahaan yang terdaftar di Singapura," kata laporan itu, mengacu pada nama resmi junta, Dewan Administrasi Negara.
"SAC menggunakan helikopter ini untuk mengangkut tentara dan melakukan serangan udara terhadap sasaran sipil, seperti serangan April 2023 di Desa Pazigyi di Wilayah Sagaing yang menewaskan sekitar 170 orang, termasuk 40 anak-anak," sambungnya.
Militer Myanmar mengatakan anggota perlawanan bersenjata tewas dalam serangan Desa Pazigyi.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada Bulan April, Thailand tidak akan memihak dan akan menangani semua masalah dalam konflik tersebut.