Judi Online, Revolusi Mental dan Kohesi Sosial
JAKARTA – Judi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang bisa dikatakan sudah “tua”. Dari awal kemunculannya, judi dalam berbagai bentuk permainannya seakan sulit untuk diberangus. Masuk di era digital, judi pun tak mau kalah dan ikut “berevolusi” dengan sebutan judi online.
Bahkan, judi online bisa dikatakan makin menancapkan kukunya dan mencengkram semua lapisan masyarakat. Betapa tidak, bila judi konvensional harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, judi online justru bisa dimainkan kapan saja dan dimana saja tanpa rasa was-was terciduk aparat.
Di Indonesia sendiri, Satgas Pemberantasan Judi Online memiliki data bahwa setidaknya empat juta orang merupakan pelaku judi online. Ketua Satgas, Hadi Tjahjanto mengungkapkan, berdasarkan profiling usia terhadap para pelaku judi online, 40 persen (1.640.000) berusia 30-50 tahun, 34 persen (1.350.000) berusia di atas 50 tahun, 13 persen (520.000) berusia 21-30 tahun, 11 persen (440.000) berusia 10-20 tahun dan mirisnya dua persen (8.000) merupakan anak berusia di bawah 10 tahun.
Menurut pengamat sosial dan kebijakan publik, Bahren Nurdin, di era digital saat ini teknologi memang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Sayangnya, bak pisau bermata dua, kemajuan teknologi juga membawa tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu contohnya adalah judi online yang makin marak di tengah masyarakat. Judi online, dengan kemudahan aksesnya melalui gawai, telah menciptakan dilema sosial yang kompleks. Di satu sisi, revolusi digital menjanjikan kemajuan dan efisiensi dalam berbagai aspek kehidupan, tapi fenomena judi online justru mengancam kohesi sosial yang telah lama ada di masyarakat.
Baca juga:
“Kohesi sosial yang menjadi perekat dalam interaksi antarindividu dan kelompok dalam masyarakat, kini menghadapi ujian berat. Judi online tidak hanya berdampak pada individu pelakunya, tetapi juga merambah pada unit terkecil masyarakat, yakni keluarga,” ujar Bahren dalam keterangan tertulis, Sabtu 22 Juni 2024.
“Belakangan ini kita sering mendengar kisah tentang rumah tangga yang berantakan akibat salah satu anggotanya terjerumus dalam kubangan judi online. Ada istri yang membakar suami, anak membunuh orang tua atau pelaku yang bunuh diri,” sambungnya.
Selain itu, dampak judi online kini mulai terasa hingga ke tingkat komunitas. Kepercayaan antarwarga mulai terkikis ketika muncul kasus penipuan dan pencurian, yang tidak jarang dipicu kebutuhan untuk menutupi hutang akibat judi online. Hal ini tentu mengancam kohesi atau harmoni sosial yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Bahren mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah ancaman judi online terhadap kohesi sosial di masyarakat. Pertama, peran aktif masyarakat sipil dan lembaga pendidikan dalam membangun literasi digital yang kuat. Masyarakat, terutama generasi muda, perlu dibekali pemahaman komprehensif tentang risiko judi online dan dampaknya terhadap kehidupan sosial.
Kedua, revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung tinggi kebersamaan dan gotong royong perlu digalakkan. Penguatan ikatan sosial melalui kegiatan-kegiatan komunitas dapat menjadi benteng pertahanan terhadap godaan judi online.
Ketiga, penyediaan alternatif kegiatan yang positif dan produktif, terutama bagi kaum muda, dapat menjadi strategi efektif. Pengembangan industri kreatif berbasis teknologi, bisa menjadi wadah penyaluran energi positif sekaligus membuka peluang ekonomi baru.
Dia menegaskan, tantangan judi online ini menjadi momentum untuk merefleksikan kembali arah perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap tatanan sosial. Karena, sudah saatnya baik pemerintah dan masyarakat memastikan bahwa kemajuan teknologi harus sejalan dengan penguatan kohesi sosial.
“Melalui kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat mengubah teknologi yang sempat menjadi bumerang ini kembali menjadi alat pemersatu dan pembangun peradaban. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa kohesi sosial tetap terjaga di tengah derasnya arus digitalisasi, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh menghadapi tantangan era digital,” terang Bahren.
Revolusi Mental Bisa Menangkal Judi Online
Bangsa Indonesia sebenarnya sudah memiliki satu solusi untuk menghadapi cengkraman judi online, yakni revolusi mental yang dulu dicanangkan Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno. Bahren menilai, ajaran revolusi mental yang berintikan upaya untuk mengubah cara berpikir, sikap, dan perilaku bangsa agar lebih berintegritas, disiplin, dan berorientasi pada kepentingan bersama masih relevan dengan situasi saat ini.
Sebab, ajaran Bung Karno tersebut menekankan pentingnya karakter yang kuat dan moralitas yang tinggi sebagai dasar untuk membangun bangsa yang maju dan berkeadilan. Salah satu caranya adalah melalui disiplin dan kemandirian ekonomi:
“Judi online adalah antitesis dari nilai-nilai ini. Dengan revolusi mental, masyarakat diharapkan mampu mengembangkan sikap disiplin dalam pengelolaan keuangan dan menghindari godaan untuk mencari keuntungan instan melalui judi online,” imbuhnya.
Nilai lain dari revolusi mental adalah kepedulian sosial dan kebersamaan. Bahren melihat judi online termasuk salah satu bentuk egoisme yang merugikan banyak orang. Karena itu, dengan menanamkan nilai-nilai kepedulian dan kebersamaan, masyarakat diharapkan dapat saling menjaga dan mencegah tindakan yang merugikan satu sama lain.
Meski demikian, implementasi revolusi mental dalam konteks pemberantasan judi online memerlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, mulai dari pendidikan, penguatan hukum dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Sekali lagi, tak kalah penting adalah peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan tindakan atau aktivitas judi online di sekitarnya. Partisipasi aktif masyarakat adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan,” tegas Bahren.
Rehabilitasi Pecandu Judi
Di sisi lain, seorang pelaku atau pecandu judi online sebenarnya masih bisa “diselamatkan” melalui proses rehabilitasi. Dikutip dari laman gamblershelp-com.au, ahli saraf Universitas Melbourne, Jared Cooney Horvath menjelaskan cara rehabilitasi bagi pecandu judi online.
Dia mengungkapkan, saat seseorang menang dalam perjudian, otak melepaskan zat kimia bernama dopamin yang membuatnya merasa nyaman. Namun ketika sering berjudi, otak menjadi terbiasa dengan dopamin, yang membuat perasaan menang itu sulit dicapai. Akibatnya, orang mungkin harus berjudi lebih banyak lagi untuk merasakan tingkat kesenangan yang sama.
“Beberapa produk perjudian, seperti pokies dan roulette, membuat kita merasa menang, meski sebenarnya tidak. Hal ini mendorong kita untuk terus berjudi untuk mencoba merebut kembali perasaan menang itu,” ujarnya.
Menurut Jared, judi mungkin tampak menarik terutama jika orang tersebut baru mengenalnya. Gagasan untuk menang mengaktifkan pusat kesenangan di otak, membuat merasa sangat senang. Namun, ketika sering berjudi, aktivitas di bagian otak ini akan mulai berkurang. Intinya, seseorang harus bertaruh lebih banyak lagi untuk mendapatkan kesenangan yang sama yang pernah datang dengan begitu mudah.
Selanjutnya, bila judi tidak lagi menyenangkan dan seseorang mulai mengejar perasaan yang pernah dialami, hal ini bisa menjadi tanda bahwa orang tersebut sudah kecanduan judi. Dia menekankan, penting untuk memahami bagaimana judi memengaruhi seseorang, karena semakin memahami, maka semakin mudah untuk mengubahnya.
Jared menerangkan, saat mendapatkan kemenangan judi, otak melepaskan zat kimia yang membuat merasa hebat. Namun, jika sering berjudi, bahan kimia yang sama akan dilepaskan saat seorang pecandu nyaris celaka.
“Pada dasarnya, otak Anda tertipu dengan berpikir bahwa Anda telah menang dan ini mendorong Anda untuk terus maju, karena latihan membuat menjadi sempurna, bukan? Kebanyakan judi tidak seperti olahraga atau akademis. Tidak peduli seberapa keras Anda mencoba atau seberapa banyak Anda berlatih, peluangnya tidak akan berubah,” tukasnya.
Dia menyatakan, dalam proses rehabilitasi seorang pecandu judi, penting untuk selalu diingat bahwa otak manusia terus berubah. Ketika seseorang mempelajari sesuatu yang baru, otak berubah untuk beradaptasi. Begitu pula ketika seseorang lupa bagaimana melakukan hal itu, otak berubah sehingga akan melupakannya.
Artinya, ketika seseorang semakin sering berjudi, otak akan mulai beradaptasi hingga mencapai tingkat kebiasaan ini atau tingkat kecanduan seperti. “Itu kenapa kita harus selalu mengingat jika otak selalu berubah. Begitu kita mulai mengubah pikiran, perilaku, tindakan kita, otak kita bisa berubah keluar dari pola tersebut dan tiba-tiba kecanduan mulai memudar,” tambah Jared.
Dia menegaskan, tidak ada kata terlambat untuk menghilangkan efek candu dari judi. Sebab, hal yang menarik dan paling penting tentang otak adalah otak terus berubah hingga saat seseirabg meninggal. Karena itu, tidak masalah jika seseorang telah berjudi selama 40 tahun, 4 tahun, 4 menit, 400 tahun, begitu orang tersebut mulai mengubah pikiran dan perilaku, otaknya akan mulai mengubah titik di mana seseorang kehilangan rasa kecanduan itu.
“Saya pikir ini adalah salah satu hal yang paling penting untuk diketahui tentang kecanduan, meskipun hal itu tercermin di otak, namun sebenarnya tidak melekat di otak. Otak mengalami perubahan yang dapat membantu mengusir kecanduan, namun otak juga mengalami perubahan yang membantu menghilangkan kecanduan dan itulah satu-satunya cara kita mengetahui cara untuk menghentikan hal ini,” tutup Jared.