Melihat Seperti Sebuah Negara
JAKARTA - Dulu, suatu lahan dapat diukur berdasarkan jumlah sapi yang dapat dipelihara atau jenis tanaman yang dapat ditanam, namun setelah sentralisasi, luas lahan diukur dalam hektar . Tak hanya itu, pengenalan nama belakang yang permanenn di benua Eropa menjadi satuan ukuran standar untuk menyatakan bahwa konfigurasi ulang tatanan sosial diperlukan untuk pengawasan negara.
Keduanya kalimat itu merupakan kutipan dari buku karangan James C. Scott yang berjudul "Seing Like State". Buku yang melihat seperti sebuah negara: Bagaimana Skema Tertentu untuk Memperbaiki Kondisi Manusia Telah Gagal.
Scott dengan berani mengkritik sistem kepercayaan yang disebutnya modernisme tinggi., yang berpusat pada terlalu percaya dirinya seorang kepala negara terhadap kemampuan merancang dan mengoperasikan masyarakat sesuai dengan kebutuhan.
Buku ini menegaskan bagaimana negara berusaha untuk memaksakan “keterbacaan” pada subjek mereka dengan menghomogenisasi dan menciptakan standar yang menyederhanakan tatanan sosial yang sudah ada, alami, dan beragam. Menurut Scott, peran sentral yang dimainkan oleh negara diperlukan untuk program-program seperti tanggap bencana atau vaksinasi.
Baca juga:
Scott mengeksplorasi kelemahan perencanaan kota dan rekayasa sosial yang sangat modernis, dengan alasan bahwa pendekatan ini sering kali memberikan hasil yang tidak berkelanjutan dan mengurangi otonomi dan keterampilan manusia. Dia juga membandingkan desain modernisme tinggi yang kaku dan terpusat dengan sifat institusi yang beragam dan mudah beradaptasi yang dibentuk oleh kebijaksanaan praktis.
Contoh-contoh dari pernyataan kritis Scott itu termasuk bidang pertanian, perencanaan kota, dan ekonomi. Semuanya digunakan untuk menggambarkan bagaimana pendekatan yang kaku dan bersifat top-down dapat menyebabkan degradasi lingkungan, dislokasi sosial, dan hilangnya akal sebagai motor dari peran manusia.
Buku Seing Like State ini seakan menjelma nyata dalam proyek strategis dan berskala besar, Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Keinginan Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur menunjukan keberanian yang dipadukan dengan ketelitian tinggi. Pasalnya bangsa ini belum pernah membangunn sebuah kota yang sukses dari lahan tanah yang kosong. Melakukan konfigurasi ulang suatu daerah akan berdampak kepada tatanan sosial di masyarakat lokal.
Akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir juga mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki pengalaman dalam membangun sebuah kota dari tanah kosong. Karena itu, pembangunan IKN Nusantara merupakan tantangan besar sehingga perlu ketelitian.
Dia melihat, pembangunan IKN Nusantara merupakan proyek berskala besar dan bernilai mahal, sehingga memiliki tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Sulfikar menyebut sejumlah proyek berskala besar yang akhirnya gagal karena beberapa faktor. Salah satunya adalah visi para pemimpin atau elite politik yang ketika keinginannya ingin diwujudkan, justru tidak sesuai dengan realita yang ada di masyarakat.
Dia berharap, hal-hal seperti itu harus dipelajari secara saksama dan bijaksana oleh pemerintah. Apalagi ketika pemerintah tengah melakukan upaya pembangunan dengan skala besar yang melibatkan duit banyak dan dilakukan dengan jangka panjang.
“Karena itu kita harus hati-hati dan banyak hal yang bisa kita pelajari, tidak hanya dari apa yang pernah kita lakukan tapi apa yang dilakukan negara-negara lain. Kita harus bisa objektif untuk melihat permasalahan-permasalahan, tanpa harus mencoba menutupi persoalan itu, karena mungkin kita memang pernah mau terbuka untuk menyatakan bahwa proyek yang dikerjakan itu belum dilakukan dengan baik,” terang Sulfikar.
Sulfikar juga menyayangkan pemindahan ke IKN yang masih menggunakan intuisi atau gagasan yang berdasarkan naluri, tanpa melibatkan pikiran atau pertimbangan yang logis, tanpa rasionalitas terukur yang dipakai pemerintah.
“Sayang sekali rasionalitas dari pemindahan IKN itu masih bersifat intuitif. Jadi, tidak ada rasionalitas terukur yang dipakai oleh pemerintah untuk mengatakan, ‘Oke Ibu Kota Negara kita pindahkan ke Kalimantan Timur karena alasan ini dan itu’. Kemudian ada bukti empirisnya, ada kajian-kajian teoritis dan analitiknya sehingga semua orang setuju,” jelasnya.
Modusnya Itu Tak Membebani APBN
Rektor UMJ, Ma’mun Murod Al-Barbasy mengatakan, bila permasalahannya adalah ketakmerataan dan dominasi pembangunan di Jawa, jawabannya tentu bukan dengan memindahkan ibu kota negara. Sebaliknya, justru semestinya dijawab dengan memangkas ketimpangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa, melakukan pemerataan pembangunan di wilayah-wilayah luar Jawa. Sebagian ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah luar Jawa lainnya.
“Kalau alasannya karena ingin memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan, dan penghayatan terhadap Pancasila, apakah selama ini Jakarta dinilai tidak atau kurang mencirikan identitas bangsa, kebinekaan, dan penghayatan terhadap Pancasila? Kalau tidak, indikator apa yang digunakan untuk menilai Jakarta sebagai tidak atau kurang mencirikan ketiga hal tersebut,” tukasnya.
Selain itu, porsi pembiayaan IKN yang lebih banyak menggunakan APBN ini tentu tak sejalan dengan janji yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Mei 2019, saat awal mengumumkan proyek pemindahan ibu kota, yang menyebut bahwa pembangunan ibu kota negara tidak akan membebani APBN.
Ma’mun mengungkapkan, modus “tak membebani APBN” ini serupa dengan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung yang pada awalnya pemerintah juga menyatakan tidak akan membebani APBN, tapi faktanya membebani juga APBN sebesar Rp4,3 triliun. Padahal sebelumnya, pembiayaan kereta cepat ini pun sudah mengalami pembengkakan biaya dari sebelumnya sekitar Rp86,67 triliun menjadi Rp114, 24 triliun.
“Belum lagi jika bicara proses penyusunan hingga pengesahan UU IKN yang hanya memakan waktu 42 hari. Hal ini seperti mempertegas kecenderungan yang sama selama ini bahwa dalam proses pembuatan beberapa UU yang berkenaan dengan kepentingan kaum oligarki, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja selalu saja pengesahannya hampir mempunyai kemiripan: penuh kontroversi, mengabaikan masukan dari banyak pihak, pembahasannya sangat cepat, dan disahkan menjelang atau tengah malam,” ujarnya.
Dia menekankan, tanpa adanya political will dan political act untuk mengubah kebijakan pembangunan dari yang bermodel Jawa centris, kota centris, tidak mungkin akan terjadi pemerataan pembangunan di Indonesia. Karena itu, pemindahan ibu kota negara bukan jawaban atas ketakmerataan dan ketimpangan pembangunan yang terjadi di tanah air.
“Pertanyaan besarnya, dengan proses pembahasan UU IKN yang sedemikian buruk, sejatinya kepentingan siapa yang mendominasi dan bermain di balik kebijakan pindah ibu kota negara? Menilik argumentasi pemerintah, singkatnya waktu pembahasan, dan tingginya tingkat penolakan, sulit untuk tidak menyebut bahwa ada kepentingan yang bermain sangat rapi dan sistematis atas kebijakan pindah ibu kota negara,” tutup Ma’mun Murod.
Kepastian Regulasi Menjadi Kunci Investasi ke IKN.
Regulasi Menjadi Kunci Investasi ke IKN
Namun menurut Pakar Pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronny S.Hotma Bako apapun yang diiming- imingkan pemerintah belum dapat membuat investor tertarik menanamkan uangnya di IKN. Menurut Ronny, investor masih sangsi dengan kepastian regulasi berusaha di IKN.
Menurut Ronny belum ada kejelasan nasib dari IKN. Mereka masih menunggu kepastian ditandatangani Keppres soal IKN menggantian Jakarta sebagai ibu kota. Menurut Jokowi keppres itu masih dirumuskan. Tetapi ia menyatakan kemungkinan presiden baru yang akan menandatangani Keppres itu. Investor melihat ini belum ada kepastian. Jokowi saja tak yakin kapan Keppres akan ditanda tangani.
Sehingga belum ada kepastian bagi investor. Kalau melihat konstelasi politik dan kondisi APBN dimana Indonesia sedang kesulitan keuangan. Sehingga investor berhitung, bisa saja Prabowo mengambil kebijakan lain, misalnya menghentikan proyek tersebut.
Sebab mereka melihat sinyalemen lain, antara lain berita tentang rencana upacara 17 Agustus 1945 masih berubah ubah. Kadang diberitakan diselenggarakan d IKN atau ada juga informasi sementara akan diselenggarakan di Jakarta. Tambah lagi dengan mundurnya 2 petinggi Otorita IKN yang semakin menunjukan ketidakpastian investasi di IKN.
Jadi menurut Ronny berbagai upaya yang ditawarkan pemerintah seperti dengan pemberian kemudahan berusaha di IKN dengan kemudahan kepemilikan lahan dengan insentif perpajakan belum akan bisa mendorong kedatangan investor luar negeri. Menurut Ronny semua intensif itu tidak ada gunanya.
"Insentif apapun tak akan menarik buat investor IKN, selama masih ada ketidakpastian soal regulasi," katanya Kepada VoI, Minggu (16 Juni).
Soal belum adanya kepastian akan ditandatangani Keppres itu, menurut Ronny, juga menjadi ganjalan investor menentukan kepastian berinvestasi di IKN. karena ada kemungkinan bisa saja kebijakan Presiden baru mengambil pilihan untuk membatalkan proyek IKN, apalagi Prabowo selain politisi juga ebagai seorang pebisnis yang tentu memiliki pertimbangan bisnis dimana mereka menghitung untung ruginya dari sisi bisnis
Bisnis kan berhitung kalau investasi di IKN, harus mengeluarkan modal dan menghitung pengembalian seberapa cepat akan kembali keuntungan. Sementara disisi lain kondisi keuangan APBN Indonesia tengah defisit dan kondisi makro ekonomi dunia juga menjadi petimbangan pemerintah baru nanti. Dimana, bisa saja kebijakan yang diambil pemerinah baru akan berbeda atau ekstrimnya pemerintahan yang beru menghentikan proyek IKN dengan alas an untuk menyelamatkan ekonomi negara.
Pertimbangan investor lainya yang juga mengganjal bagi ereka adalah hal jumlah populasi yang masih rendah, biaya tinggi terutama biaya logistik, dan konsistensi regulasi yang cepat sekali berubah. Investor jadi akan berpikir ulang menginvestasikan dananya di IKN. Faktor-faktor itulah yang membuat investor masih maju mundur untuk berinvestasi nilai besar ke IKN.