Wamenkeu Sebut Tak Turunkan Defisit APBN 2025 di 1,5 Persen
JAKARTA - Kementerian Keuangan menyampaikan tidak akan menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dalam pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi 1,5 persen hingga 1,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Adapun, dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah telah menetapkan defisit fiskal untuk RAPBN 2025 dalam kisaran 2,45 persen hingga 2,82 persen dari PDB.
"Kita tetap di 2,45 persen sampai 2,82 persen. Seperti yang di dokumen KEM-PPKF," ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Kompleks Parlemen RI, Rabu, 5 Juni.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa berharap defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dapat diturunkan hingga level 1,5 persen -1,8 persen. Hal tersebut diperlukan agar pemerintahan selanjutnya memiliki ruang fiskal yang lebih leluasa.
“Kami berharap Bu Menkeu (Sri Mulyani Indrawati) dan Komisi XI, kalau memang itu disepakati, kita inginkan defisit itu bisa lebih turun lagi antara 1,5 persen sampai 1,8 persen sehingga ada ruang fiskal bagi pemerintahan yang akan datang kalau akan menggunakan pasal itu," ujarnya dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu, 5 Juni.
Menurut Suharso hal tersebut berdasarkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 dalam Undang-Undang (UU) nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang mana menjelaskan bahwa pemerintahan saat ini diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN untuk pemerintahan baru berikutnya.
“Pasal 5 ayat 1 dan 2, intinya adalah bahwa pada pemerintahan yang sekarang ini memang diwajibkan untuk membentuk dan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rancangan APBN untuk periode pertama pemerintahan presiden berikutnya,” kata Suharso.
Baca juga:
Dalam UU 17/2007 pasal 5 ayat 1 menjelaskan dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindarkan kekosongan rencana pembangunan nasional, Presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.
Sementara itu, pada pasal 2 undang-undang tersebut, sebagai pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun pertama periode Pemerintahan Presiden berikutnya.
Suharso menyampaikan bahwa terdapat aturan yang menjelaskan bahwa presiden terpilih berikutnya punya ruang gerak yang luas untuk menyempurnakan RKP dan APBN melalui mekanisme APBN Perubahan (APBN-P).
“Tapi ada juga di dalam penjelasan, disampaikan bahwa presiden terpilih berikutnya mempunyai ruang gerak yang luas untuk menyempurnakan RKP dan APBN pada tahun pertama pemerintahan melalui mekanisme perubahan APBN-P,” ujarnya.