Mengenal Gunung Bawakaraeng: Asal-usul Nama, Jalur Pendakian, dan Mitos-mitosnya

YOGYAKARTA – Gunung Bawakaraeng merupakan salah satu gunung yang menjadi favorit para pendaki. Gunung yang terletak di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini menawarkan pemandangan alam yang eksotis. Gunung setinggi 2.840 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini juga disebut sebagai titik terdingin di Sulawesi Selatan.

Asal-usul Nama Gununug Bawakaraeng

Asal-usul nama Gunung Bawakaraeng berasal dari bahasa Makassar. Secara harfiah, Gunung Bawakaraeng berarti Mulut Tuhan atau mulut raja. Raja merujuk pada penguasa manusia lantaran kepercayaan orang Makassar Kuno berbentuk Dinamisme, yakni keberadaan Batara sebagai penentu alur kehidupan manusia.

Kata ‘bawa’ sendiri bermakna mulut atau tempat di mana kata akan keluar. Sedangkan ‘Karaeng’ memiliki arti Tuhan, Dewa, Raja, Yang Mulia, Yang Agung.

Dengan demikian Bawakaraeng dapat diartikan sebagai salah satu sumber kehidupan yang diberikan sang Batara kepada manusia.

Dinamai Gunung Bawakaraeng karena tanah di sekitar gunung tersebut sangat subur, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Secara ekologis, Gunung Bawakaraeng memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpanan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeg, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Sinjai.

Di lereng gunung ini juga terdapat wilayah ketinggian, Malino, obyek wisata yang cukup populer di Sulawesi Selatan.

Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng

Menurut informasi yang ada di dalam peta Jalur Pendakian Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia, pendakian jalur Gunung Bawakareng bisa ditempuh dari kaki Gunung Bawakaraeng di Desa Lembanna, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Ini adalah jalur yang paling aman dilalui pendaki.  

Jalur lainnya yang dapat ditempuh untuk sampai ke puncak Gunung Bawakaraeng, yakni Jalur Lembah Ramma, Jalur Danau Tanralili dan Jalur Gunung Perak di Kabupaten Sinjai.

Mitos-Mitos di Gunung Bawakaraeng

Gunung Bawakaraeng memiliki beberapa mitos yang cukup populer di kalangan pendaki dan warga sekitar. Dihimpun dari berbagai sumber, mitos-mitos tersebut yakni:

1. Mitos Pasar Anjaya

Mitos ini cukup populer di kalangan pendaki Gunung Bawakaraeng. Lokasinya berupa tanah lapang yang terletak di antara Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang.

Berdasarkan cerita yang beredar, Pasar Anjaya adalah pasar hantu atau tempat berkumpulnya jin. Pendaki disarankan untuk tidak mendirikan tenda di lokasi Pasar Anjaya.

Lokasi Pasar Anjaya memang terlihat berbeda sebab dikelilingi pepohonan tetapi pada titik yang dimaksud tidak ada satu pun pohon yang tumbuh.

2. Mitos Hantu Nino

Cerita mistis di Gunung Bawakaraeng yang berikutnya adalah hantu Nino. Desas-desusnya, Nino adalah pendaki wanita yang mengalami kejadian naas ketika mendaki.

Kisah tentang Nino dimulai pada tahun 80-an, yakni pada masa awal pendakian Gunung Bawakaraeng. Sebutan Nino diberikan lantaran tidak ada satu orang pun yang mengetahui identias asli wanita yang ditemukan tergantung di sebuah pohon besar di pos 3 jalur pendakian.

Hantu Nino disebut sering terlihat pada bulan purnama. Banyak pula pendaki yang merasa kerilnya tiba-tiba terasa berat ketika melewati pos 3, khususnya yang menggunakan keril berwarna merah.

3. Mitos Ritual Haji Bawakaraeng

Istilah Haji Tabattu atau Haaji Baawakareng cukup melekat dengan warga yang tinggaal di kawasan Gunung Bawakaraeng. Mereka percaya jika tidak bisa pergi ke Tanah Suci maka cukup meniatkan haji di Bawakaraeng.

Ritual haji dimulai ketika salat Idul Adha di Gunung Bawakaraeng. Masyarakat yang mengikuti ritual ini turut membawa sesajen seperti gula merah, kelapa, daun sirih, dan pinang.

Selain itu, warga juga melakukan ritual dengan melepas hewan ternak, seperti ayam dan kambing. Pendaki bisa menangkap ayam tersebut untuk dikonsumsi.

Demikian informasi tentang Gunung Bawakaraeng. Dapatkan update berita pilihan lainnya hanya di VOI.ID.