Sudah Seberapa Dekat Kita dengan Vaksin Virus Corona?

JAKARTA - Kabar baik datang dari China. Konon, mereka akan memulai uji coba vaksin virus corona atau COVID-19. China percaya diri dan menyatakan vaksin mereka siap diproduksi massal. Selain China, Amerika dan Israel juga turut dalam kompetisi. Lalu, sedekat apa kita dengan vaksin COVID-19?

Sebelum mengetahui seberapa jauh pengembangan vaksin COVID-19, ada baiknya kita memahami bagaimana cara vaksin bekerja. Seperti dijelaskan dalam dokumen Lembaga Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), pada dasarnya, ketika patogen penyebab penyakit --seperti bakteri dan virus-- menginvasi tubuh, mereka akan menyerang sistem imun atau kekebalan tubuh.

Tak cuma itu. Patogen juga akan berkembang biak. Proses invasi itu yang disebut infeksi dan menyebabkan penyakit. Dalam tubuh manusia, sistem imun bekerja melawan infeksi dengan beberapa "alat". Di antaranya adalah sel darah putih atau sel imun. Sel imun sendiri terdiri dari makrofagus, limfosit B, dan limfosit T.

Masing-masing bagian dari sel imun itu bekerja dalam peran berbeda. Makrofagus, misalnya, yang berfungsi menelan dan mencerna patogen sekaligus sel-sel yang mati. Makrofagus kemudian menyisakan bagian dari patogen penyerang tubuh yang disebut antigen. Dalam kerja sistem imun, tubuh akan mengidentifikasi antigen sebagai ancaman, yang kemudian memicu stimulasi antibodi yang berfungsi menyerang ancaman tersebut.

Selanjutnya, adalah tugas limfosit B. Dalam penjelasan sederhana, limfosit B adalah pelindung sel darah putih. Limfosit B bekerja dengan memproduksi antiboodi yang dapat menghancurkan antigen yang ditinggalkan makrofagus. Lainnya, limfosit T.

Pada dasarnya, kerja limfosit T mirip dengan limfosit B. Bedanya, limfosit T memiliki tugas khusus untuk menyerang sel-sel di dalam tubuh yang telah terinfeksi. Dalam proses infeksi, tubuh memerlukan beberapa hari untuk mengerahkan semua alat di atas untuk melawan patogen.

Yang menarik dari kerja sistem imun, setelah infeksi disembuhkan, sistem imun akan mengingat atau merekam bagaimana cara tubuh melawan patogen, baik yang berbentuk bakteri, kuman atau pun virus. Itu lah kenapa biasanya tubuh yang telah terinfeksi satu jenis patogen akan memiliki kekebalan terhadap jenis patogen yang sama.

Perekaman itu dilakukan tubuh dengan menyimpan bagian limfosit T yang disebut juga sel-sel memori. Ia akan bereaksi cepat ketika tubuh bertemu patogen serupa. Selanjutnya, antigen identik yang mengganggu tubuh seseorang itu akan langsung direspons oleh limfosit B dengan menciptakan antibodi untuk menyerang antigen.

Ilustrasi foto (He Zhu/Pixabay)

Vaksin 

Dalam memerangi patogen, tubuh bekerja dengan sangat mengagumkan. Lalu, bagaimana fungsi vaksin? Vaksin membantu mengembangkan sistem imun dengan "memalsukan" atau mengimitasi infeksi. Infeksi yang disebabkan vaksin, bagaimana pun juga seharusnya tidak menyebabkan orang sampai terkena penyakit.

Kerja vaksin hanya memicu agar sistem imun memproduksi limfosit T atau sel memori. Maka, jika ada kuman atau virus yang asli di masa depan, sistem imun siap mengeluarkan antibodi untuk melawan. Pada prinsipnya, vaksin bekerja dengan menciptakan pertarungan antara patogen dan sistem imun. Biasanya, vaksin disuntukkan dengan dosis rendah, karena tujuannya adalah memicu sistem imun menghasilkan antibodi terhadap patogen tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas.

Terkait COVID-19, saat ini beberapa negara sedang berlomba-lomba untuk membuat vaksin untuk melawan virus mutasi corona atau corona baru (nCov atau Cov-2) yang menyebabkan penyakit bernama COVID-19. Negara-negara itu, di antaranya adalah China, Israel, dan Amerika.

Di China, para ilmuwan biowarfare dari Akademi Ilmu Kedokteran Militer Wuhan telah mengantongi izin dari otoritas, Administrasi Produk Nasional pada Selasa, 17 Maret, untuk menguji formula vaksin potensial COVID-19. "Kami adalah komunitas untuk berbagi masa depan umat manusia. Dan vaksin adalah salah satu senjata ilmiah dan teknologi paling kuat untuk mengakhiri epidemi virus corona," kata Chen Wei, pakar biowarfare militer yang memimpin tim penelitian, dikutip New York Post, Kamis, 19 Maret.

Peneliti biowarfare militer China memulai penelitian sejak 26 Januari. Dalam jangka waktu kurang dari dua bulan, akhirnya Chen mengatakan, ia dan tim siap memproduksi vaksin berskala besar, dengan catatan, tes uji coba berhasil. "Sesuai standar internasional dan hukum dan peraturan domestik, kami telah membuat persiapan awal untuk keamanan, efektivitas, quality control, dan produksi massal," kata Chen.

Selain China, kabar baik juga datang dari Israel. Para peneliti dari Institut Penelitian Biologi Israel, seperti diwartakan haaretz.com, konon siap mengumumkan bahwa mereka telah menyelesaikan pengembangan vaksin untuk COVID-19. Sayangnya, proses itu belum final. Proses pengembangan masih membutuhkan serangkaian tes dan eksperimen yang bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, sampai vaksin dipastikan efektif dan aman untuk digunakan.

Menteri Pertahanan Israel Naftali Bennet bahkan bersikap realistis mengenai upaya pembuatan vaksin yang telah diinstruksikan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 1 Februari. Kendati demikian, optimisme masih tetap dibangun. "Belum ada terobosan dalam upaya lembaga biologi untuk menemukan vaksin virus corona ... Sekarang, lebih dari 50 ilmuwan berpengalaman yang masih terus bekerja di lembaga biologi untuk meneliti dan mengembangkan obat medis untuk virus tersebut," kata Bennet.

Tahap mencipta vaksin

Dalam sebuah dokumen, otoritas pengendalian penyakit AS, CDC menjelaskan tahapan yang harus dilalui sebelum sebuah vaksin siap diproduksi massal. Ada enam tahap. Pertama, tahap eksplorasi, dilanjutkan dengan tahap praklinik (pre-clinical), kemudian uji klinis (clinical trials), memproses persetujuan regulator, persiapan manufaktur, hingga yang terakhir, pengontrolan kualitas.

Penelitian di Israel sendiri masih akan memasuki tahap praklinik. Para peneliti konon akan segera melakukan pengujian formulasi vaksin potensial pada hewan. Setelah melewati praklinik, para peneliti dapat maju ke uji klinis. Pada tahap ini, uji coba dilakukan kepada manusia. Peneliti biasanya akan betul-betul meneliti efek samping dan perbedaan karakteristik tiap-tiap populasi terdampak virus.

Artinya, China baru saja masuk ke tahap uji klinis, yakni menguji coba langsung kepada manusia dan meneliti bagaimana dampaknya. Masih cukup jauh dari produksi massal. Yang mengejutkan sejatinya adalah langkah AS.

Negeri Paman Sam dikabarkan telah lebih dulu menguji coba vaksin pada manusia. Sebagaimana diwartakan BBC, otoritas bahkan telah mendapatkan empat orang yang mengajukan diri sebagai kelinci percobaan vaksin yang pengujiannya akan dilakukan di fasilitas Kaiser Permanente di Seattle, Washington, AS.

Infografik (Ilham Amin/VOI)

Sementara itu, di Kaiser Permanente, orang pertama yang mendapat suntikan vaksin itu adalah seorang ibu dua anak berusia 43 tahun dari Seattle, Jennifer Halle. "Ini adalah kesempatan luar biasa bagi saya untuk melakukan sesuatu," kata Halle. 

Para ahli mengatakan, dari proses itu, masih perlu waktu berbulan-bulan. Hal itu wajar. Sebab pada tahapan uji klinis, masih harus melalui tiga tahapan menurut Presiden Sabin Vaccine Institute, Bruce Gellin. Seperti diwartakan The Guardian,  tahap pertama melibatkan lusinan relawan yang sehat dan siap untuk diuji coba dan dipantau aspek keamanan dan efek sampingnya. 

Kemudian, yang kedua adalah melibatkan ratusan orang untuk melihat seberapa efektif vaksin itu. Ketiga, melakukan hal yang sama pada ribuan orang. "Tidak semua kuda yang meninggalkan gerbang awal akan menyelesaikan lomba," kata Bruce Gellin, menyiratkan risiko pembuatan vaksin.