Pentingnya Bijak dalam Bersosial Media demi Melawan Hoaks di Masa Pandemi COVID-19

JAKARTA - Penggunaan media sosial sudah seperti menjadi hal wajib bagi hampir setiap individu. Namun di tengah gempuran informasi yang seolah tanpa batas, bijak dalam bersosial media adalah hal yang harus dipegang teguh oleh masing-masing pribadi di kehidupan bermasyarakat.

Anggota Komisi I DPR, Ahmad Rizki Sadig mengatakan, euforia penggunaan alat-alat komunikasi yang begitu canggih saat ini, membuat begitu mudah untuk mengabarkan berita-berita yang belum tentu benar. Sehingga menurutnya, bisa jadi diri sendiri menjadi bagian dari yang menyebarkan berita bohong atau hoaks.

"Kita harus bijak dan bertanggung jawab terhadap apa yang akan ditulis di media sosial dengan situasi yang begitu cepat, sehingga tidak bisa keserempet dengan aturan-aturan yang berhubungan dengan Undang-Undang ITE, itu yang sering kali akan menjebak kita dalam persoalan teknologi informasi seperti saat ini," ujar Ahmad Rizki dalam sebuah webinar yang digagas BAKTI Kominfo, Rabu 9 Maret.

Ahmad Rizki menambahkan, pihaknya di parlemen, sedang membuat regulasi-regulasi berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Komisi I DPR beserta dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan seluruh stakeholder yang terkait, sedang menyusun draf Undang-Undang perlindungan data pribadi yang menjadi salah satu konsen terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

"Tidak bisa dipungkiri pengguna internet di Indonesia ini maupun di dunia melonjak begitu drastis, baik dari tahun yang lalu maupun tahun sekarang. Dan saya yakin akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang," ujarnya.

Lebih lanjut Ahmad Rizki menegaskan, bagi seluruh masyarakat yang menggunakan teknologi informasi, agar tidak hanya sekadar mempelajari bagaimana mengoperasikan alat-alat komunikasi, tapi juga berusaha memahami sejauh mana aturan-aturan yang melatarbelakangi tentang efek apabila tidak menggunakan media komunikasi dengan cara yang baik.

"Juga perlu belajar tentang aturan-aturannya, agar kemudian tidak dipersalahkan apabila ada sesuatu nantinya," tutur Ahmad Rizki.

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Yuliandre Darwis mengatakan, di Indonesia, pemahaman penggunaan teknologi masih lemah. Menurutnya, literasi digital berbanding terbalik dengan pengguna internet.

"Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara dalam tingkat literasi yang paling rendah," ungkapnya.

Ia menambahkan, permasalahan ini makin mengkhawatirkan karena belum meratanya kesempatan untuk mengakses bahan literasi dalam negeri. Sehingga kata dia, ada potensi dari 202 juta jiwa pengguna internet di Tanah Air untuk menyebarkan hoaks di media sosial.

"Hoaks sengaja dibuat untuk mempengaruhi opini publik dan kian marak, karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh atau yang viral tanpa melihat kebenaran dari substansi yang dibahas. Ada 800.000 situs penyebar hoaks di Indonesia, itu bukan jumlah yang sedikit ini yang harus dihadapi dalam dunia transformasi digital," jelasnya.