Sekjen KLHK: Pembangunan IKN Bukti Nyata Pemulihan Lingkungan
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) merupakan salah satu bukti nyata pemulihan lingkungan di Tanah Air.
"Bukti nyata pemulihan lingkungan, bukti nyata aksi mitigasi perubahan iklim dengan melakukan penanaman itu contohnya IKN," ujar Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono saat ditemui wartawan di kantornya, Selasa, 23 April.
Bambang menilai, pembangunan IKN tidak dibangun secara asal-asalan dan telah memiliki rencana strategis terkait pengelolaan lingkungannya.
"Bagaimana target menanam kembali atau mengembalikan proses fungsi dengan menaman pohon jenis setempat itu luasannya juga sudah terlihat dalam rencana strategis IKN-nya," kata dia.
Dia menambahkan, pembangunan IKN pun tak terlepas dari bagaimana upaya pemerintah untuk melakukan penanaman kembali yang disesuaikan dengan keberadaan bendungan untuk ketersediaan airnya.
"Nah inilah yang kami sebut menjamin komitmen nyata aksi mitigasi perubahan iklim, yang mana penanaman pohon itu sesuatu yang harus dikerjakan bersama," ucap Bambang.
Sekadar informasi, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) telah meluncurkan Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (Kehati) IKN pada 26 Maret 2024.
Master plan ini sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan 65 persen merupakan area hijau.
"Saya ingin mengatakan dokumen ini isinya adalah ambisi bahwa IKN akan menjadi kota yang menjaga paling tidak 65 persen wilayahnya sebagai kawasan yang dilindungi," ujar Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam OIKN Myrna Asnawati Safitri dalam agenda Soft Launch Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Ibu Kota Nusantara yang dipantau secara daring pada Selasa, 26 Maret.
Rencana induk ini ditujukan untuk mengembalikan kejayaan Kalimantan, menyusul kondisi eksisting yang sangat jauh dari asalnya akibat konversi besar-besaran selama puluhan tahun.
Baca juga:
Konversi ini disebabkan oleh kepentingan Hutan Tanaman Industri (HTI) monokultur, kegiatan perkebunan kelapa sawit, penambangan dan lain-lain.
"Ini semakin menjadi berat karena isinya yang ada di 60 persen itu bukan ekosistem atau lingkungan yang baik-baik saja, isinya itu adalah sebagian besar bisa dikatakan kalau 65 persen dari 252.000 (hektare) itu, kan, sekitar 160.000 sekian. Sisanya 55.000 hektare itu adalah hutan tanaman monokultur, berarti bukan hutan tropis," katanya.
Peluncuran dokumen Kehati ini pun diharapkan bisa menyelesaikan persoalan hutan sekunder yang sudah rusak sejak lama akibat penebangan puluhan tahun lalu dan kebakaran hutan hebat di Kalimantan Timur pada 1997 silam.