Program Makan Siang Gratis Bakal 'Obrak-abrik' APBN
JAKARTA - Peneliti Anggaran Publik Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Bernard menilai, program makan siang gratis akan berdampak pada kinerja APBN sehingga berpotensi adanya pemotongan atau mengorbankan program lainnya.
Adapun program makan siang gratis diusung oleh pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran dan direncanakan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN 2025).
"Kinerja APBN yang mulai pulih, justru akan diobrak-abrik oleh program makan siang gratis yang dipaksakan. Jika dilihat dari kinerja APBN, defisit APBN 2023 mengalami koreksi dibandingkan 2022, yaitu 1,65 persen dari PDB atau senilai Rp347,6 triliun," jelas Bernard dalam keterangannya, dikutip Rabu 28 Februari.
Namun tetap saja defisit anggaran tersebut menunjukan adanya selisih antara pendapatan dan belanja yang berdampak pada sempitnya kapasitas fiskal Pemerintah Pusat dalam mengembangkan program baru.
Defisit APBN berkorelasi dengan rencana program pemerintah untuk menyelenggarakan makan siang gratis dengan anggaran mencapai Rp450 triliun.
Bernard menyampaikan program makan siang gratis ini berdampak pada pemotongan atau mengorbankan program lainnya. Sehingga menimbulkan pertanyaan program pemerintah mana yang akan dikorbankan untuk memuluskan rencana makan siang gratis.
Ditambah muncul wacana akan menghapuskan subsidi energi seperti listrik dan BBM untuk menutupi anggaran makan siang gratis sebab alokasi subsidi energi Rp350 triliun.
"Sekalipun wacana kenaikan BBM dan tarif Listrik telah ditolak Menteri ESDM, tetap saja rakyat harap-harap cemas, karena narasi subsidi tidak tepat sasaran selalu menjadi dalih pemerintah untuk mengurangi subsisi BBM dan Listrik yang berdampak pada kenaikan anggaran," ujarnya.
Menurut Bernard, program makan siang gratis serampangan dilekatkan dalam Fungsi pendidikan dan fungsi perlindungan sosial. Menurutnya jika mengutip pernyataan Prabowo pada acara Trimegah Political and Economic Outlook 2024 beberapa saat lalu, program makan siang gratis dilekatkan dengan fungsi pendidikan dan perlindungan sosial.
"Pernyataan pragmatis ini berpotensi menegasikan atau mereduksi program prioritas lainnya di dua fungsi tersebut. Anggaran fungsi Pendidikan senilai Rp655 triliun. Sedangkan anggaran fungsi Perlindungan Sosial senilai Rp496 triliun. Patut dicermati, bahwa masing-masing fungsi tersebut telah memiliki program-program prioritas," ucapnya.
Adapun alokasi anggaran fungsi pendidikan sudah diplot untuk bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), beasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program lainnya.
Begitu pula dengan fungsi perlindungan sosial yang telah memiliki peruntukan program prioritasnya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial (Bansos), iuran PBI JKN, dan program lainnya.
Bernard menyampaikan, pemaksaaan anggaran program makan siang gratis akan berpotensi menciptakan masalah baru.
Apabila dipaksakan untuk program makan siang gratis maka akan ada yang dikorbankan dan berpotensi menganggu stabilitas yang ada.
Menurutnya, program makan siang gratis masih belum jelas teknisnya, pendataan penerima manfaat, alur pasok bahan baku, dan implementasinya masih ke penerima manfaat.
Selain itu, alih-alih menciptakan kesejahteraan, program makan siang gratis berpotensi menambah persoalan seperti memperlebar defisit anggaran, merusak program-program yang sudah stabil, menciptakan tumpukan sampah akibat makanan sisa, menganggu neraca perdanganan akibat bahan baku yang diimport.
"Apalagi jika sumber anggaran program makan siang gratis dari realokasi anggaran akibat pengurangan anggaran subsidi energi. FITRA menilai, tindakan itu merupakan penyelundupan anggaran publik yang tidak pernah masuk akal," jelasnya
Bernard menyarankan, pemerintah seharusnya berpikir lebih jernih dan kreatif dalam melihat sumber pendapatan untuk membiayai program makan siang gratis.
Menurut dia, tidak bisa merealokasi anggaran dari program lainnya kecuali birokrasi di Indonesia benar-benar bekerja keras untuk melakukan efesiensi anggaran.
"Meskipun itu sekali belum tentu efektif. Pondasi sumber anggaran program makan siang gratis masih compang-camping, tidak jauh berbeda dengan rencana implemetasinya. Sampai sejauh ini belum ada gambaran yang memperjelas program makan siang gratis akan didanai oleh sumber APBN dari mana," tuturnya.
Bernard menilai, otak-atik anggaran untuk makan siang gratis menunjukkan indikasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah netral dalam kontestasi Pilpres 2024.
Selain itu, otak-atik anggaran merupakan indikasi pemerintah tidak kreatif dalam upaya meningkatkan pendapatan negara dari sumber-sumber potensial lainnya, untuk menambah anggaran program prioritas presiden baru.
"Menggali potensi pendapatan baru, upaya pemerintah biasanya tidak jauh dari membebani rakyat dengan berbagai kebijakan perpajakannya, dengan menaikan tarif pajak yang secara otomatis berdampak pada pengurangan pendapatan masyarakat. Solusi-solusi pemerintah seringkali tidak solutif bagi rakyat di akar rumput," ucapnya.
Bernard menilai, program makan siang gratis sejauh ini masih belum memiliki pondasi yang cukup kuat, masih banyak lemah dari mulai payung regulasi yang mengaturnya, kerangka teknis implementasi, sumber bahan baku, aktor yang terlibat, validitas data penerima manfaat, dan sumber anggaran untuk mendukung program tersebut.
Baca juga:
Bernard mendorong, pemerintahan saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, fokus pada persoalan Republik yang ada di depan mata, seperti kenaikan harga pangan yang makin tidak terkendali, dampak perubahan iklim yang tak kunjung diatasi secara serius, antisipasi perlambatan ekonomi global, dan persoalan lainnya.
Selain itu, Seknas FITRA menilai pembahasan Program Makan Siang Gratis dalam Rancangan APBN 2025 merupakan bentuk kelancangan teknokratis.
"Berjalan tanpa memperhatikan hasil akhir Pilpres yang resmi dikeluarkan oleh KPU. Bahwa benar, Rencana Kerja Pemerintah perlu berkesinambungan dalam masa transisi pergantian Presiden dan Wakil Presiden, namun pembahasan itu seharusnya dilakukan setelah KPU mengumumkan secara resmi hasil dari Pilpres," pungkasnya.