Tantangan Berat untuk Wujudkan Pendidikan Inklusif
JAKARTA – Isu pendidikan masih menjadi perhatian pemerintah. Memberikan kesempatan kepada semua warga negra untuk mengenyam pendidikan adalah cita-cita luhur Undang-Undang 1945.
Dalam debat kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center, Minggu (4/4/2024), calon presiden nomor urut tiga Ganjar Pranowo menyinggung peran pendidikan inklusif pada segmen pertama pemaparan visi dan misinya.
Tidak hanya itu, mantan Gubernur Jawa Tengah ini juga menyebut pembentukan kurikulum yang lebih mapan, dengan akses terbaik untuk anak didik dan tenaga pendidikan.
“Bapak Ibu maka Pendidikan dan Kebudayaan mesti kita bangun bersama-sama akses pendidikan yang baik lebih inklusi, kemudian kurikulum yang mantap dan tentu saja fasilitas yang diberikan harus bisa memberikan akses terbaik untuk anak-anak didik kita termasuk nasib guru dan dosen,” ujar Ganjar.
Kesempatan yang Sama
Bagi sebagian orang, pendidikan inklusif mungkin masih terdengar asing. Padahal sistem pendidikan inklusif sedang digencarkan dalam beberapa tahun terakhir.
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaran pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Berkebutuhan khusus yang dimaksud di antaranya tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, tuna wicara, hiperaktif, kesulitan belajar, down syndrome, autis, dan tuna ganda.
Sementara UNICEF mendefinisikan pendidikan inklusif berarti semua anak berada di ruang kelas yang sama, di sekolah yang sama. Ini artinya, kesempatan belajar yang nyata bagi kelompok-kelompok yang secara tradisional terpinggirkan, tidak hanya anak-anak penyandang disabilitas, namun juga penutur bahasa minoritas.
Tren jumlah sekolah inlusif sebenarnya cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang diperoleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) pada 2017 ada 31.724 sekolah inklusi dengan 159.002 peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Dan pada 2021, terdapat 35.802 sekolah inklusi dengan 127.541 PDBK.
Meski demikian, menerapkan sekolah inklusi tidaklah mudah. Di lapangan, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari PDBK itu sendiri, tenaga pendidik, sampai sarana dan prasarana sekolah.
Melihat kembali ke belakang, pada 2009 para guru SMP 259 Jakarta memberikan sanksi berupa hukuman atau tidak naik kelas kepada siswa yang dianggap dan selalu memiliki nilai buruk.
Itu terjadi sebelum mereka kedatangan para mahasiswa magister ilmu psikologi Universitas Indonesia datang melakukan observasi. Mereka mencari tahu apakah ada PDBK yang bersekolah di sana.
Baca juga:
- Liberalisasi Pendidikan di Sekolah dan Perguruan Tinggi Negeri Seharusnya Dihentikan
- Polah Warganet Bahas Pelantikan KPPS, Mulai dari Polemik Hingga Jokes di Media Sosial dalam Pantauan Netray
- Pro Kontra Jastip, Bisnis Menggiurkan yang Diklaim Ilegal dan Rugikan Negara
- Pro Kontra Jastip, Bisnis Menggiurkan yang Diklaim Ilegal dan Rugikan Negara
Dari hasil observasi para mahasiswa, anak yang sering dihukum karena dianggap nakal ternyata menyandang hiperaktif. Sementara yang senantiasa mendapat nilai buruk ternyata mengalami disabilitas intelektual.
Tak hanya itu, ternyata para pendidik juga masih banyak yang tidak tahu tentang pendidikan inklusif lantaran minimnya sosialisasi.
Jumlah Guru Pembimbing Terbatas
Tantangan menyediakan pendidikan inklusif nyata adanya. Dan hal ini juga diakui oleh Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri.
“Memang ada upaya Kemendikbud untuk membuat pendidikan semakin inskulif, dengan penambahan fasilitas di sekolah inklusi,” kata Iman saat berbincang dengan VOI.
“Tapi untuk mencapai itu, ada dua hal yang harus terakomodir, yaitu sarana prasana dan tentu saja SDM-nya. Sekarang ini serba belum terakomodir,” imbuhnya.
Iman mengakui apa yang terjadi di SMP 259 Jakarta masih banyak dijumpai di sekolah lainnya. Menurutnya, pemahaman guru-guru mengenai inklusi masih belum memenuhi standar yang dibutuhkan.
“Kapasitas pendidik untuk anak berkebutuhan khusus (abk), untuk yang inklusi tentu harus disesuaikan dengan tipe abk-nya,” Iman menjelaskan.
“Pada sekolah inklusi butuh guru pendamping, sementara kegiatan guru ini banyak sekali dan pemahaman guru juga masih minim. Inilah tantangannya menyediakan sekolah inklusi,” katanya lagi.
Keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) memang menjadi tantangan dalam penyelenggaraan sekolah inklusi. Padahal dalam salah satu pasal di Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tertulis bahwa pemerintah wajib menyediakan guru pendamping bagi sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi.
Laporan Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia, Tinjauan Sekolah Menengah Pertama 2017 mencatat di Indonesia ada 2.465 sekolah inklusif negeri namun hanya memiliki 728 GPK. Sebagai contoh, pada 2017 ada 1.138 siswa tuna grahita ringan dan sedang yang bersekolah di sekolah inklusif negeri, namun jumlah GPK hanya 41. Jumlah siswa tersebar di 34 provinsi namun GPK hanya ada di 18 provinsi.
Contoh lain adalah PDBK dengan disabilitas tuna wicara. Dengan jumlah siswa tuna wicara yang bersekolah di SMP negeri inklusif berjumlah 112 orang, hanya ada dua orang GPK. Menurut laporan dari Kemendikbud, kasus seperti ini terjadi di seluruh kategori disabilitas.