Pembentukan Satgas Tambang Ilegal Tunggu Keputusan Presiden

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM (Purn) Bambang Suswantono mengatakan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penegakan Hukum (Gakkum) pertambangan ilegal masih menunggu keputusan Presiden RI, Joko Widodo.

Bambang menyebut, pihaknya masih menunggu kepala negara menekenKeputusan Presiden (Keppres).

"Itu kita masih nunggu. Ya nunggu Keppres atau apa turun, belum (terbentuk)," ujar Bambang saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin, 11 Desember.

Ia menambahkan, draft untuk tim Satgas Gakkum telah disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan pihaknya tinggal menunggu disetujui Presiden Joko Widodo.

Bambang berharap, dengan rampungnya draft tersebut, Satgas Gakkum tersebut dapat segera terbentuk dalam wakru dekat.

"Mestinya (segera). Ini kan sudah bulan 12. Semoga aja segera (dibentuk)," kata dia.

Asal tahu saja, Kementerian ESDM mengusulkan setidaknya empat tim Satgas Gakum, yakni tim satgas yang menangani penambangan ilegal dengan leading sektor Ditjen Minerba, tim satgas yang menangani praktik pengeboran minyak ilegal dengan leading sektor Ditjen Migas, tim satgas terkait penyalahgunaan BBM bersubsidi yang merupakan leading sektor BPH Migas, dan tim satgas yang menangani pelanggaran hukum pencurian listrik yang merupakan leading sector Ditjen Gatrik

Khusus untuk usulan Satgas Gakum di sektor minerba, berdasar hasil pemetaan, telah identifikasi terdapat PETI di 2.741 Lokasi, dari jumlah tersebut sebanyak 1.215 lokasi telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

"Diperlukan pendekatan khusus dan pembinaan untuk menertibkan praktik-praktik penambangan tanpa izin yang dilakukan oleh masyarakat setempat," ujar Bambang.

Sikap proaktif pemda juga diperlukan dalam memperjuangkan pertambangan rakyat. Sebab pengajuan WPR sendiri dilakukan oleh Gubernur kepada Menteri ESDM dengan mempertimbangkan rekomendasi dan kesesuaian tata ruang, daya dukung lingkungan, dan daya tampung kegiatan. Kemudian dievaluasi oleh Bappeda, Dinas PUPR, dan Dinas Lingkungan Hidup. WPR juga harus memenuhi kriteria yang disebutkan Pasal 22 UU 3 Tahun 2020.