Komnas HAM: Penanganan Pengungsi Rohingya Harus Merujuk Perpres 125

BANDA ACEH - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Aceh menyatakan penanganan pengungsi Rohingya yang masuk wilayah Provinsi Aceh beberapa pekan terakhir harus merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri.

"Terkait pengungsi Rohingya, Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri harus jadi rujukan," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama dilansir ANTARA, Selasa, 5 Desember.

Ia mengatakan tim pemantauan Komnas HAM telah melakukan kunjungan lapangan ke empat lokasi penampungan sementara pengungsi Rohingya di Aceh, yaitu bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe, SKB Cot Gapu Bireuen, Pante Kulee Bate, dan Mina Raya Padang Tijie Pidie.

Sebelum meninjau ke lapangan, tim Komnas HAM juga melakukan pertemuan dengan Penjabat Gubernur Aceh, Forkopimda Lhokseumawe, Bireuen, Pidie, UNHCR, dan IOM.

"Secara umum penjabat Gubernur Aceh menyampaikan kepada tim Komnas HAM bahwa pemda dengan alasan kemanusiaan akan menampung sementara para pengungsi sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat," ujarnya.

Mengenai kedatangan para pengungsi Rohingya dan fenomena resistensi yang terjadi saat ini, Sepriady menyampaikan semua pihak terkait hendaknya terus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab penanganan pengungsi dengan mengacu pada instrumen hukum yang tersedia, yakni Perpres 125, ketentuan internasional yang berlaku umum dan peraturan perundangan yang berlaku.

Karena itu, Komnas HAM meminta semua pihak hendaknya konsisten untuk melaksanakan aturan yang tersedia, mulai dari penemuan, penampungan, pengamanan hingga pengawasan keimigrasian.

"Perlu atensi khusus terhadap fenomena resistensi tersebut sehingga situasi yang menempatkan atau mengakibatkan posisi masyarakat untuk berhadapan langsung dengan pengungsi dapat dihindari," katanya.

Dengan mempertimbangkan alasan kemanusiaan, lanjut Sepriady, pemerintah, UNHCR dan IOM mempunyai kewajiban untuk menangani para pengungsi Rohingya tersebut.

Dia juga meminta UNHCR untuk meningkatkan koordinasi dengan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Satgas Penanganan Pengungsi, penjabat Gubernur Aceh, Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Provinsi Aceh, Kapolda Aceh, bupati/wali kota terkait, dan Ditjen Imigrasi.

"Semua pihak harus memastikan pengungsi tidak meninggalkan lokasi pengungsian secara ilegal atau tanpa izin sebagaimana yang terjadi selama ini karena tindakan demikian berpotensi terjadinya penyelundupan orang dan human trafficking," jelas Sepriady Utama.