Menganalisis Panic Buying dan Aming Benar Manusia Lebih Bahaya dari Corona
JAKARTA - "Pada akhirnya, bukan corona yang membunuh kita. Tapi, saudara sendiri yang punya duit lah," tertulis dalam unggahan komedian sekaligus aktor Aming Sugandhi. Sepintas memang. Namun, jika didalami, kalimat yang disampaikan Aming sejatinya memiliki makna mendalam soal hubungan manusia, alam, dan virus corona alias COVID-19 yang menjangkiti berbagai belahan dunia.
Senin, 2 Maret lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa dua orang warga Indonesia teridentifikasi positif COVID-19. Setelah Jokowi, pernyataan lebih lengkap ditutur Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Ia menjelaskan, dua orang itu adalah ibu 61 tahun dan anaknya yang berusia 31 tahun. Keduanya tinggal di Depok.
Penularan pertama terjadi pada sang anak yang berdansa dengan seorang warga Jepang pada 14 Februari lalu. Setelah dansa di malam valentine itu, ia mengalami batuk berkepanjangan hingga akhirnya dinyatakan positif COVID-19 pada 28 Februari. "Kemudian, tanggal 26, dia minta dirawat sajalah, kok batuknya enggak hilang-hilang, sesak, dan agak demam dikit. Kemudian dirawat," tutur Terawan kala itu.
Tak lama setelah pengumuman-pengumuman itu, media sosial dipenuhi oleh gambar dan video yang menunjukkan kepanikan masyarakat di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka ramai-ramai memborong kebutuhan harian, mulai dari sembako hingga disinfektan. Selain itu, gelombang lain juga menyerbu tempat-tempat penjualan masker medis dan hand sanitizer. Panic buying pun meluas.
Fenomena ini yang dikritisi Aming. Menurutnya, reaksi panic buying yang ditunjukkan masyarakat, di waktu yang sama dapat dilihat sebagai bentuk egoisme tingkat tinggi manusia. Tapi, itu bukan bagian paling menyedihkan. Ironi terberat adalah tampaknya sistem kelas di dalam panic buying. Mereka yang kelebihan duit secara tak langsung sedang 'membunuh' saudara sebangsa dari kelas lainnya.
Pada akhirnya, kemanusiaan yang dipertanyakan. Bahkan, di mata Aming, ketimbang virus, manusia adalah sejatinya bahaya. "Berbondong-bondong ngeborong sampai stock kosong! Sobat miskin cuma bengong dimatiin sodara sendiri dalam kondisi kelaparan. Siapa lebih jahat, corona atau manusia?"
Kenapa dan bagaimana?
Situasi ini tak cuma terjadi di Indonesia. Di Singapura, situasi panic buying juga terjadi ketika pemerintah meningkatkan level kewaspadaan COVID-19 hingga level oranye. Saat itu, 33 orang di Negeri Singa teridentifikasi positif COVID-19. Level oranye adalah tingkatan paling tinggi dalam riwayat penyebaran COVID-19 di Singapura.
Ia berada satu tingkat di bawah level merah yang merupakan level paling berbahaya. Level merah adalah pertanda bahwa penyebaran virus telah mencapai tingkat paling parah, di mana isolasi wajib dilakukan. Artinya, stok logistik akan terbatas. Fakta itulah yang mendorong banyak orang menyerbu pusat perbelanjaan untuk memborong sembako dan kebutuhan hidup lain.
Sebelumnya, di Hong Kong, Jepang, hingga tentu saja China, kepanikan yang sama terjadi. Pertanyaan selanjutnya tentu saja soal kenapa hal ini terjadi dan bagaimana menghentikan kegilaan ini? Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tantan Hermansyah menjelaskan fenomena ini dalam kacamata sosiologis.
Menurut Tantan, kepanikan ini sejatinya tak terbendung. Ia meliputi semua entitas masyarakat di berbagai lapisan. Cara kerjanya, menurut Tantan hampir sama seperti domino. Kepanikan orang per orang akan menular kepada orang-orang lainnya. Baik mereka yang berduit atau pun yang jelata.
Kedua kelompok ini sama-sama memiliki logika yang sama soal mengerikannya penularan COVID-19, kenapa mereka membutuhkan masker, serta bayang-bayang kehabisan masker dan hand sanitizer yang jadi dua variabel pemicu kepanikan. "Mereka yang masyarakat berbagai kalangan itu sebetulnya hanya terjadi karena saling pengaruh memengaruhi," kata Tantan dihubungi VOI, Rabu, 3 Maret.
Soal kelas sosial yang tampak dalam fenomena ini. Menurut Tantan, fenomena tersebut nyata. Bahwa orang-orang berduit berbahan bakar ego campur panik dengan gilanya memborong segala kebutuhan hidup. Tak ada ruang untuk orang lain di kepala mereka. Yang terdampak, pada akhirnya, suka tak suka adalah kaum jelata.
"Orang yang uangnya sedikit, sumber dayanya terbatas, mereka ingin mendapatkan apa yang menjadi variabel panik, yaitu masker dan hand sanitizer. Nah, yang gede, yang uangnya banyak pun mengalami logika yang sama. Dalam kepala mereka juga mereka menyadari bahwa supply-nya (masker dan hand sanitizer) tak seimbang dengan demand," tutur Tantan.
Dalam konteks ini, Tantan mendorong pemerintah turun tangan. Pemerintah harus menyediakan jalan tengah untuk menangani himpitan kaum borju terhadap para miskin. Bagaimana pun, kuasa borju tak akan terbendung. Mereka memiliki segala sumber daya untuk menguasai masker dan hand sanitizer.
Karenanya, pemerintah harus berada di pihak jelata. Dengan menerbitkan instruksi presiden (inpres) pengendalian harga masker dan hand sanitizer, misalnya. Ya, walaupun masker dan hand sanitizer gratis terdengar lebih baik untuk rakyat.
"Di situlah kemudian negara harus hadir itu di situ. Orang yang menengah ke bawah kan enggak mungkin beli banyak. Tapi, mereka yang kaya itu, mentang-mentang itu, 'mau naik 500 kali lipat juga saya no problem.' Tapi kan hidup tidak bisa begitu. Di situlah pemerintah yang mengendalikan itu," tutur Tantan.