Serba Konon Nyamuk Wolbachia: Penumpas Demam Berdarah, Buatan Bill Gates, hingga Penyebar Virus LGBT
JAKARTA – Belakangan ini masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan nyamuk Wolbachia. Meski dianggap menjadi salah satu cara menekan penularan demam berdarah dengue (DBD), namun tak sedikit pula yang mentah-mentah menolak keberadaan nyamuk Wolbachia.
Nyamuk Wolbachia menjadi perbincangan secara masif setelah warga Bali ramai-ramai menolak penyebaran jutaan telur nyamuk Wolbachia. Hal ini dituturkan Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya beberapa waktu lalu.
Dia menegaskan, penolakan tersebut dilakukan karena masyarakat Bali belum mendapat sosialisasi dari rencana penyebaran telur nyamuk Wolbachia ini.
"Bali menolak dengan tegas. Sebab program ini belum disosialisasikan secara masif ke masyarakat luas," ujarnya Minggu (19/11).
Tentang Bakteri Wolbachia
Melansir laman Kementerian Kesehatan, Wolbachia adalah bakteri alami yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya.
Bakteri Wolbachia inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes aegypti supaya virus dengue yang dibawa oleh nyamuk jauh menurun potensinya untuk disebarkan dan pindah dari satu manusia ke manusia lain. Mengutip sejumlah sumber, Wolbachia aman untuk manusia dan lingkungan.
Sementara itu, The New York Times menuliskan bahwa nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia di dalamnya juga dapat mengendalikan virus lain seperti zika, chikungunya, dan demam kuning.
Kemenkes menunjuk enam kota sebagai pilot project penyebaran nyamuk aedes yang memiliki bakteri Wolbachia, yaitu Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.
Namun, rencana tersebut menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah narasi yang beredar di antaranya adalah nyamuk ber-Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetik, sehingga tidak diketahui dampak jangka panjangnya.
Narasi lainnya menyebutkan nyamuk yang disebut sebagai buatan Bill Gates ini merupakan misi terselubung untuk membentuk genetik LGBT. Belum lagi soal adanya konspirasi elite global soal pengembangbiakan nyamuk ber-Wolbachia yang dapat mengancam keamanan nasional.
Terkini, muncul anggapan bahwa nyamuk yang memiliki bakteri Wolbachia di dalamnya bisa menyebarkan virus japanese enchephalitis.
Menteri Kesehatan di era Presiden Susilo Bambang Yudhowono, Siti Fadillah Supari, termasuk di antara yang meragukan program Kemenkes melakukan penyebaran nyamuk ber-Wolbachia. Dia keberatan ketika masyarakat menjadi subjek penelitian, apalagi efektivitas penyebaran nyamuk ber-Wolbachia juga dikhawatirkan belum teruji.
"Ini yang membuat ketidaknyamanan menurut saya sebagai bangsa yang berdaulat. Dari segi kesehatan DBD menurut saya telah terkendali dengan program-program dari Kemenkes," tutur dia dalam konferensı pers Senin (13/11/2023).
Guna meredam isu yang beredar, pakar kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Profesor Zubairi Djoerban angkat bicara perihal penyebaran ‘nyamuk Bill Gates’ di Indonesia. Dia menjelaskan, nyamuk ber-Wolbachia ini adalah proyek yang dikembangkan oleh World Mosquito Program (WMP) yaitu perusahaan milik Monash University.
"Mungkin karena proyek ini mendapatkan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation, maka banyak dikenal sebagai nyamuk Bill Gates," kata Prof Zubairi di akun X miliknya @ProfesorZubairi, Jumat (17/11/2023).
“Tujuan dikembangkannya proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah (DBD), demam kuning, dan chikungunya. Bakteri Wolbachia ini dapat melumpuhkan virus dengeu yang terkandung dalam nyamuk Aedes aegypti,” imbuhnya.
Menekan Penyebaran DBD
Proyek penyebaran nyamuk ber-Wolbachia dilakukan untuk menekan angka penularan demam berdarah dengue (DBD) akibat nyamuk Aedes aegypti.
Melansir laman Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), kasus DBD di Indonesia terus meningkat. Dari 73.518 kasus dengan angka kematian 705 orang pada 2021, naik menjadi 131.265 kasus dengan angka kematian 1.183 orang pada 2022.
Sementara itu, pada periode Januari sampai Juli 2023, ditemukan 42.690 orang terinfeksi DBD dan 317 orang meninggal.
Baca juga:
- Jangan Lagi Libatkan Anak dalam Kampanye Pemilu, Itu Pelanggaran Hak
- Ancaman PHK di Balik Seruan Boikot Produk Israel, Pikirkan Masak-masak Sebelum Bertindak
- Mari Tiru Tiga Prinsip Coldplay Menjaga Lingkungan Lewat Konser Mereka
- Pantauan Netray Soal Aksi Boikot Produk Israel Menggema di Media Sosial X dan TikTok
Inovasi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia adalah strategi baru untuk mengatasi penularan kasus dengue di Indonesia. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini merupakan program kerja sama Kemenkes dengan Wolrd Mosquito Program (WMP). Hal ini juga ditegaskan dr.Arifianto, Sp.A (K) melalui akun Instagramnya.
“Penyebaran nyamuk aedes yang diinfeksi Wolbachia adalah sebuah upaya penting mengurangi kasus demam berdarah. Semoga ke depannya kasus DBD terus menurun di Indonesia,” kata dr. Arifianto, Sp.A(K)
Cara Kerja Nyamuk Ber-Wolbachia
Mengutip WMP, pengendalian DBD dilakukan pertama-tama dengan memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam telur nyamuk Aedes aegypti. Ketika nyamuk Aedes aegypti jantan yang ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina liar tanpa bakteri Wolbachia, maka virus dengue yang ada pada nyamuk betina diblok, sehingga telurnya tidak menetas.
Di Indonesia sendiri, telur nyamuk jantan yang ber-Wolbachia dan betina dimasukkan di dalam ember yang dititipkan di rumah warga. Lalu nyamuk akan berkembang biak dan menghasilkan populasi nyamuk Aedes aegypti di lingkungan yang ber-Wolbachia.
Walau nyamuk Wolbachia viral baru-baru ini, proyek ini sebenarnya sudah diuji sejak 2011 lalu di Yogyakarta oleh WMP dengan dukungan filantropi yayasan Tahija. Penelitian dilakukan melaui fase persiapan dan pelepasan Aedes aegypti berWolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).
Sebelum adanya keputusan pilot project di lima kota di Indonesia, uji coba penyebaran nyamuk ber-Wolbachia ini juga dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86 persen.
Teknologi Wolbachia juga sudah dilaksanakan di sembilan negara lain dan terbukti efektif untuk pencegahan dengue, yaitu Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, Kaledonia Baru, dan Sri Lanka.
Meski demikian, perlu diingat bahwa penyebaran nyamuk ber-Wolbachia hanya salah satu upaya menekan penyebaran DBD. Perlu dibarengi tindakan lainnya untuk terhindar dari DBD dengan melakukan langkah yang disebut 3M yaitu menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, dan mendaur ulang berbagai barang yang berpotensi jadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti.