Beda dengan Sesak Nafas Biasa, Kenali Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik
JAKARTA - Gejala sesak napas dan asma berbeda dengan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). PPOK ditandai adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan perlambatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif serta berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan.
"Bedanya, sesak napas pada asma akan hilang sepenuhnya di luar waktu serangan asma, sementara sesak napas pada PPOK akan masih tetap ada," kata Guru Besar pulmonologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof dr Tjandra Yoga Aditama, SpP(K) dikutip dari ANTARA, Rabu, 15 November.
Selain sesak napas, mereka yang mengalami PPOK juga bergejala antara lain batuk-batuk selama 2 minggu, batuk berdahak dan apabila mengalami perburukan gejala maka bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi dan bertambahnya batuk disertai meningkatnya dahak.
Sementara gejala non-spesifik PPOK yakni lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah dan depresi. Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu lalu menuturkan bahwa sudah banyak data ilmiah yang menunjukkan bahwa polusi udara dapat memperburuk keadaan PPOK pada seseorang.
"Juga akan lebih sering eksaserbasi (perburukan atau kekambuhan gejala) dan lebih berat keluhan sesak napasnya," tutur dia.
Baca juga:
- Fitri Carlina Khawatir Saat Suami Terbang Lewati Wilayah Perang Palestina-Israel
- Rengginang Termasuk, Kenali 10 Snack Paling Populer di Asia Tenggara
- Kronologi Andika Kangen Band Tak Terima Anaknya Sakit Pasca Dirundung, Ajak Pelaku Adu Tinju
- Menurut Sains, Begini 7 Cara Menurunkan Berat Badan yang Sehat dan Efektif
Selain itu, seorang pasien PPOK yang terkena COVID-19 juga akan dapat menjadi lebih berat COVID-19 nya. Ini karena PPOK adalah salah satu komorbid yang memperberat situasi COVID-19 pada seseorang.
Kemudian, bertepatan dengan Peringatan PPOK Sedunia, Tjandra mengingatkan masyarakat bahwa PPOK adalah penyebab kematian utama di dunia dan masalah kesehatan paru-paru yang penting.
Menurut Tjandra, apabila tidak berhasil dicegah, maka PPOK harus didiagnosis segera, serta apabila sudah didiagnosis harus mendapat penanganan yang baik oleh fasilitas pelayanan kesehatan agar kualitas hidup pasien PPOK dapat tetap terjaga sesuai kemampuannya.
Baca juga:
- Fitri Carlina Khawatir Saat Suami Terbang Lewati Wilayah Perang Palestina-Israel
- Rengginang Termasuk, Kenali 10 Snack Paling Populer di Asia Tenggara
- Kronologi Andika Kangen Band Tak Terima Anaknya Sakit Pasca Dirundung, Ajak Pelaku Adu Tinju
- Menurut Sains, Begini 7 Cara Menurunkan Berat Badan yang Sehat dan Efektif
"Kalau pasien PPOK tidak ditemukan dan didiagnosis dini maka keterlambatan akan meningkatkan kemungkinan eksaserbasi, meningkatkan komorbiditas dan bahkan lebih menghabiskan biaya penanganan pula," catat dia.
Tjandra menambahkan, kebiasaan merokok merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian dan perburukan PPOK, sehingga orang-orang diharapkan memanfaatkan momentum Hari PPOK sedunia pada 15 November ini untuk berhenti merokok.
Kemudian, selain merokok sebagai faktor penyebab utama PPOK, masih ada faktor risiko PPOK yakni riwayat keluarga, riwayat infeksi paru-paru dan saluran napas ketika anak-anak, kekurangan enzim alfa 1 antitripsin serta berbagai jenis polusi udara yang kronik.