Regulasi Kepailitan dan Insolvensi Perlu Penyempurnaan, Iklim Bisnis Kondusif Butuh Aturan Hukum yang Adaptif
JAKARTA - Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 yang digelar pekan lalu menjadi langkah awal untuk mempertemukan para ahli hukum dan keuangan Indonesia maupun internasional untuk berdiskusi secara terbuka mengenai prosedur insolvensi dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), mengingat pentingnya keduanya bagi ekosistem bisnis dan keuangan.
Sekretaris Kementerian BUMN Rabin Indrajad Hattari dalam pidato utama acara tersebut menegaskan bahwa Kementerian BUMN berkomitmen menjadikan ekosistem usaha BUMN berkelanjutan, sehingga semakin dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial kepada masyarakat.
Rabin Indrajad menyatakan PKPU sebagai salah satu solusi, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi alternatif proses restrukturisasi, asalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan spesifik perusahaan.
"Namun, mengingat keterbatasan waktu, kepentingan kreditur, kemampuan perusahaan, dan unsur keuangan negara yang melekat pada entitas BUMN, maka proses PKPU perlu dilakukan dengan persiapan yang matang dengan memitigasi risiko dan mengedepankan tata kelola yang baik," ungkapnya, dikutip Kamis 10 November.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus memiliki pemikiran yang sama ketika menghadapi persoalan kepailitan dan PKPU di lingkungan BUMN dan mendukung proses restrukturisasi, sehingga perusahaan dapat pulih dan mampu mempertahankan kelangsungannya di masa depan.
Dari sisi makro, undang-undang yang mengawasi PKPU juga harus diperbaiki agar tidak terjadi silo dalam proses restrukturisasi ini. Semua pihak perlu memikirkan kembali dan mempertimbangkan perubahan UU Kepailitan yang ada.
Rabin Indrajad berharap Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 dapat menjadi forum diskusi yang konstruktif sehingga dapat menghasilkan ide dan solusi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan payung hukum yang adaptif dengan perkembangan dan dinamika dunia. Penguatan hukum kepailitan dan PKPU secara berkelanjutan perlu dilakukan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Perbaikan Berkelanjutan
Direktur BlackOak LLC Darius Tay selaku praktisi spesialis hukum kepailitan di Singapura menjelaskan Jumat (27/10/2023) apa yang menyebabkan Singapura diakui sebagai hub internasional untuk restrukturisasi utang.
"Singapura terus memperbaiki kerangka hukum dalam penanganan masalah kebangkrutan dan insolvensi," ujarnya.
Hal ini dibuktikan dengan perubahan besar-besaran pada undang-undang Singapura dengan diberlakukannya The Insolvency, Restructuring and Dissolution Act 2018 (IRDA) serta 48 undang-undang tambahan terkait lainnya.
Prosedur restrukturisasi Singapura, sebagaimana ditentukan dalam IRDA, berupaya untuk mendorong rehabilitasi perusahaan sekaligus memastikan bahwa hak-hak kreditor dilindungi secara memadai. Namun, Darius mencatat, jika terjadi likuidasi, umumnya kepentingan kreditur akan diutamakan karena pemegang saham seringkali “out of the money”.
Menurutnya, salah satu faktor kunci yang membuat penanganan kebangkrutan dan penangguhan pembayaran di Singapura lebih akomodatif dibandingkan negara lain adalah canggihnya peradilan spesialis dan industri profesional insolvensi yang kuat, yang mampu menyumbangkan ide-ide segar dan solusi inovatif pada ekosistem restrukturisasi.
"Hakim spesialis kepailitan kami sangat dihormati dalam bidang kepailitan karena keahlian dan pendekatan praktis mereka dalam menangani masalah. Hakim kami tidak hanya memahami perangkat yang tersedia berdasarkan undang-undang setempat, namun juga mengetahui perkembangan terkini di yurisdiksi lain. Hal ini memungkinkan mereka menangani isu-isu baru secara efektif, baik secara hukum maupun praktis," tegasnya.
Adaptasi Terhadap Kebutuhan Saat Ini dan Masa Depan
Sudah hampir 20 tahun sejak undang-undang yang mengatur tentang insolvensi dan tata cara PKPU disahkan, yaitu Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Meskipun undang-undang ini telah mencapai tujuannya, perekonomian dan pasar kredit Indonesia saat ini sudah jauh berbeda. Forum diskusi Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 merupakan momen yang tepat untuk mengeksplorasi pertanyaan bagaimana undang-undang ini dapat disempurnakan lebih lanjut sehingga dapat beradaptasi dengan kebutuhan perekonomian Indonesia saat ini dan masa depan. Salah satu bidang yang menjadi pertimbangan adalah sektor BUMN.
Asian Development Bank dalam publikasinya Unlocking the Economic and Social Value of Indonesia’s State-Owned Enterprises (Des 2022) mengatakan bahwa hingga tahun 2021, terdapat lebih dari 100 BUMN di Indonesia yang diawasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN). BUMN-BUMN ini terdiri dari lebih dari 1.000 anak perusahaan dan memiliki aset lebih dari 500 miliar dolar AS (Rp8.892 triliun), setara dengan 56,2% produk domestik bruto (PDB) negara pada tahun 2019.
Mengingat besarnya dan pentingnya aset-aset BUMN tersebut terhadap perekonomian Indonesia, dan melihat adanya risiko makro global terhadap perekonomian global serta meningkatnya suku bunga yang terjadi saat ini, maka pertanyaan mengenai kebutuhan restrukturisasi dan insolvensi BUMN menjadi sangat penting. Terutama karena BUMN sering kali diberi mandat dengan misi yang kompleks, beberapa di antaranya terkait dengan tujuan pembangunan nasional dan sosial secara keseluruhan, serta dipadukan dengan beragam pemangku kepentingan.
Hal ini serta permasalahan lain seputar insolvensi dan prosedur PKPU menjadi perhatian PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), yang sejak pertengahan tahun lalu berinduk kepada Danareksa Holding dan memiliki peran penting sebagai satu-satunya National Management Asset Company (NAMCO) Indonesia dengan dua fungsi utama, yaitu merestrukturisasi dan menghidupkan kembali BUMN yang mengalami kesulitan serta menyelesaikan aset berkualitas rendah dalam sektor perbankan Indonesia.
Presiden Direktur PT Danareksa (Persero) Yadi Jaya Ruchandi saat memberikan sambutan pembukaan dalam acara Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 yang digelar di Hotel Westin Jakarta tersebut mengatakan, “Danareksa sepenuhnya mendukung peran penting PPA dan berharap PPA mampu menyelesaikan proses restrukturisasi dan menghidupkan kembali BUMN yang mengalami kesulitan.
"Serta mengelola dan melaksanakan proses pemulihan yang efektif untuk aset berkinerja rendah dalam ekosistem internal Danareksa dan ekosistem BUMN secara luas, termasuk BUMN perbankan dan non-bank," tuturnya.
"Sebagai contoh, sejak akhir 2020, PPA telah diberi tugas mengelola dan merestrukturisasi 22 BUMN yang mengalami kesulitan, melalui sejumlah strategi restrukturisasi, mulai dari PKPU, perubahan arah, hingga likuidasi. Saat ini, jumlah tersebut telah berkurang menjadi 15 BUMN. Dan untuk tahun mendatang, kami akan menguranginya lagi menjadi sekitar 7 BUMN," imbuh dia.
Yadi menegaskan ke depan Danareksa akan mendukung dan mengawal proses perolehan aset tersebut dari sistem, dan setelah akuisisi, PPA akan menjalankan salah satu kompetensi intinya dalam melakukan proses pemulihan asset untuk mendukung terciptanya iklim bisnis yang semakin kondusif.