Dimulainya Tradisi bagi Angpao dalam Imlek

JAKARTA - Bagi etnis China, perayaan Imlek atau tahun baru China adalah hari besar yang dinanti. Tua muda larut dalam semaraknya Imlek. Kumpul keluarga jadi pilihan. Semua akan larut dalam eratnya kebersamaan. Di sela-sela itu, muncul tradisi yang paling dinanti. Bagi-bagi angpao namanya. Tradisi ini melengkapi kemeriahan Imlek.

Angpao dan Imlek adalah perwujudan kemakmuran. Awal mula langgengnya tradisi bagi-bagi angpao memiliki banyak versi. Bagi-bagi angpao ada yang berawal dari legenda delapan Dewa yang kemudian mengubah dirinya menjadi koin.

Langkah itu dilakukan oleh para Dewa untuk membantu pasangan lansia supaya putra mereka tak diganggu oleh iblis bernama Sui. Sebagai diungkap oleh laman Singapore Infopedia, delapan koin itu lalu dibungkus dengan kertas merah dan ditempatkan di bawah bantal untuk mengusir iblis jahat.

Setelahnya, praktik memasukan koin ke kertas merah dan ditempatkan di bawah bantal diadopsi oleh para orang tua. Perlahan-lahan, kebiasaan itu menjadi tradisi.

Tradisi itu dikenal dengan nama “Ya Sui Qian” yang berarti uang pembasmi iblis. Namun, istilah itu berkembang dan segera dipahami menjadi: uang yang diberikan kepada anak-anak oleh orang yang lebih tua.

Tak hanya itu, ada pula legenda lain yang menceritakan awal mula munculnya tradisi bagi-bagi angpao. Dikisahkan, ada seorang Kaisar Xuangzong dari Dinasti Tang sedang bahagia atas kelahiran putranya.

Lantaran itu, sebagai wujud kegembiraan, sang kaisar memberikan kepada selirnya sebagai jimat melindungi bayinya dengan masing-masing satu koin emas dan perak. Tak disangka, cara Kaisar Xuangzong diadopsi oleh orang-orang pada masa itu dan mulai memberikan koin sebagai hadiah kepada anak-anak mereka.

Arti penting angpao

Singkat cerita, angpao pada tahun baru China mempunyai istilah khusus, yaitu “Ya Sui.” Istilah itu diartikan sebagai hadiah yang diberikan untuk anak-anak berkaitan dengan pertambahan umur atau pergantian tahun. Dikutip dari Tabloid Reformata dalam laporannya berjudul Pernak-Pernik Sekitar Imlek (2007), tradisi bagi-bagi angpao muncul pada Dinasti Ming dan Qing.

“Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak-anak menggunakan uang untuk membeli petasan dan manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok zaman tersebut,” tulis laporan itu.

Oleh sebab itu, tradisi Ya Sui ini erat kaitannya dengan simbol-simbol. Sui, dalam Ya Sui diartikan sebagai umur, bahkan memunyai lafal yang sama dengan karakter Sui lain yang berarti bencana.

Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai mengusir atau meminimalisir bencana. Harapannya, setiap anak yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati satu tahun ke depan dengan aman, tentram tanpa halangan berarti.

Meski begitu, penggunaan amplop merah baru dikenal pada akhir abad ke-19. Senapas dengan itu, amplop merah yang berisi uang kemudian langgeng dengan istilah “hongbao.” Dalam bahasa Hokkian disebut “ang pow.”

Angpao (Mae Mu/Unsplash)

Baru setelah itu orang Indonesia-Tionghoa mulai mengadopsinya dengan menyebut dan menulis ang pow menjadi angpao. Warna merah yang terdapat pada Angpao pun diartikan sebagai perwujudan kebaikan dan kesejahteraan dalam budaya Tionghoa.

Lebih lagi, warna merah turut melambangkan kegembiraan yang nantinya akan membawa nasib baik. Mereka yang memberikan angpao adalah hanya orang yang sudah menikah, karena telah dianggap dewasa.

Sementara mereka yang sudah dewasa tapi belum menikah tetap boleh menerima angpao. Hal itu karena angpao juga identik sebagai “simbol” pembawa berkah, termasuk jodoh.

Sekalipun angpao lebih populer dibagikan pada saat Imlek, sejatinya angpao bukan cuma hadir saat Imlek belaka. Angpao pun jadi hadiah yang wajib diberikan pada saat perhelatan penting, seperti pernikahan, ulang tahun, hingga perayaan beli rumah baru. Kendati demikian, angpao yang diberikan tidak boleh diisi dengan angka empat, karena bawa sial. Serta tak boleh ganjil.

“(Angpao) merupakan tradisi di mana masyarakat Tionghoa yang sudah berkeluarga memberikan rezeki kepada anak-anak dan orang tuanya. Serta uang di dalam angpao yang akan dibagikan tidak boleh diisi dengan mengandung angka empat di dalamnya karena angka empat dianggap membawa sial."

"Dalam bahasa China angka empat (si) terdengar seperti kata 'mati.’ Selain itu, jumlah uang yang diberikan juga tidak boleh ganjil karena berhubungan dengan pemakaman,” tulis Majalah Adiluhung dalam laporannya, Asal Usul Makna Imlek (2020).

Selain bermakna positif, pada beberapa kasus makna angpao sering dikaitkan dengan sesuatu yang negatif. Perilaku pejabat pemerintahan yang sedari zaman kolonial Belanda sering melakukan suap menyuap untuk lobi-lobi politik jadi penyebabnya.

Mereka sering menyebut uang pelicin sebagai angpao. Lewat angpao itu benih-benih korupsi kemudian bertebaran hingga merugikan bangsa dan negara.

“… Yang penting jadi pejabat dahulu soal kemampuan dan kompetensi belakangan. Jika bisa memegang jabatan strategis, akan berkali-kali mengucapkan astungkara. Sayangnya ketika kompetitornya cukup banyak berkompetisi mencari jabatan, sering kompetisi menjadi bengkok tidak lagi prestasi landasannya, namun usaha-usaha lain bisa dilakukan, dari yang berbau klenis sampai berbau angpao, asalkan ilusi harapan terwujud menjadi kenyataan,” tutup I Nyoman Buditha S dalam buku Manusia, Agama, Dan Sastra (2019).

MEMORI Lainnya