BRIN Ungkap 1 Juta Hektare Pertanian di Indonesia Terdampak Salinitas, Hasil Produktivitas Berpotensi Turun
JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan ada sekitar satu juta hektare lahan pertanian di Indonesia terdampak salinitas atau kadar garam dari air laut. Salinitas berpotensi menurunkan hasil dan produktivitas tanaman pertanian secara nasional.
“Sebagian besar padi diproduksi di dataran rendah. Beberapa di antaranya mungkin di daerah salinitas dan luasnya dari laporan lebih dari satu juta hektare lahan yang terdampak oleh salin,” kata Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha dalam sebuah dialog virtual yang dipantau di Jakarta, Jumat 20 Oktober, disitat Antara.
Tanah salin adalah tanah yang mempunyai kandungan natrium di atas ambang batas kritis atau ambang batas toleransi tanaman. Salah satu daerah yang paling terdampak intrusi air laut adalah wilayah pantai utara di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Kendal dan Kabupaten Pemalang.
Yudhistira menuturkan perubahan iklim telah menyebabkan daerah yang terdampak salinitas semakin meluas akibat kenaikan muka air laut imbas pemanasan global.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang cukup panjang dan sebagian besar lahan pantai itu digunakan untuk produksi padi.
Baca juga:
Oleh karena itu, penelitian tentang lahan sawah yang terdampak salinitas sangat penting untuk memetakan penyusutan maupun peningkatan produksi pangan skala nasional.
Peneliti Agrikultur BRIN Renie Oelviani mengatakan lahan sawah terdampak salinitas dan tidak bisa ditanami antara 10-60 persen di Kecamatan Brangsong, Kendal, Patebon, dan Cepiring di Kabupaten Kendal.
Adapun sebanyak 80 sampai 90 persen dari luas lahan di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, tidak bisa ditanami akibat terpapar salinitas tinggi.
“Perkebunan melati yang menjadi komoditas potensi terbesar kabupaten itu mati 100 persen. Jadi, sudah tidak ada perkebunan melati dan tambak hanya tersisa 25 persen,” kata Renie.
Lebih lanjut dia mengungkapkan kerentanan lain juga terlihat dari kondisi lingkungan di mana air masuk ke permukiman penduduk 10 sampai 30 persen, kualitas air yang buruk, dan tidak bisa untuk kebutuhan keluarga karena terasa asin kalau diminum.
Petani merespon perubahan iklim yang terjadi dengan melakukan adaptasi baik on-farm maupun off-farm. Petani dengan kapasitas tinggi mereka bisa melakukan pompanisasi sepanjang musim, tetapi petani dengan kapasitas rendah mereka hanya berharap bisa panen walaupun seringkali gagal.
“Mereka yang tidak punya lahan sawah menjadi buruh serabutan, buruh tani, buruh nelayan, dan ngobor (mencari ikan) untuk kelangsungan hidup,” kata Renie.