2 Bos Perusahaan Jadi Tersangka Pertambangan Ilegal di Sultra
SULTRA - Polisi menetapkan dua bos perusahaan tambang sebagai tersangka kasus dugaan pertambangan ilegal di kawasan hutan di Desa Marombo, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Keduanya adalah Hs selaku Direktur PT Buana Tama Mineralindo (BTM) dan AR sebagai Direktur PT Bumi Nickel Pratama (BNP).
Direktur Reskrimsus Polda Sultra Kombes Pol Bambang Wijanarko mengatakan, kasus ini berawal dari laporan masyarakat pada Jumat 15 September.
"Di lokasi itu, petugas melakukan pengecekan dan menemukan adanya kegiatan penambangan biji nikel yang diduga dilakukan oleh PT. BTM dengan menggunakan tiga unit ekskavator," kata Bambang di Kendari Senin, 2 Oktober, disitat Antara.
Berdasarkan hasil penyelidikan itu, kata dia, PT BTM melakukan kegiatan penambangan biji nikel berdasarkan kontrak kerja sama dengan PT BNP dan biaya penambangan yang dibebankan kepada PT BTM sebesar Rp500 juta.
Bambang menjelaskan, penyelidikan kasus dugaan pertambangan ilegal itu, pihaknya melakukan klarifikasi terhadap saksi-saksi terkait dan kepada ahli tindak pidana pertambangan dari Kementerian ESDM RI, yang menjelaskan bahwa lokasi penambangan PT BTM tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP).
"Bahwa penyidik telah melakukan klarifikasi terhadap ahli tindak pidana kehutanan yang ditunjuk dari Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, yang menjelaskan bahwa lokasi penambangan PT BTM berada di dalam kawasan hutan," ujarnya.
Baca juga:
Bambang menyebutkan, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, kedua tersangka, Hs dan AR bakal disangkakan dengan Pasal 89 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Jo. Pasal 17 Ayat (1) huruf b Angka 5 Pasal 37 paragraf 4 Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-Undang.
”Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1,5 miliar dan paling banyak Rp10 miliar," ujar Bambang.
Selain itu, kata Bambang, menurut Pasal 158 Jo Pasal 35 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, kedua pelaku terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.