Kisah Serka Iwan di Padang: Rogoh Kocek Pribadi, Waktu dan Tenaga Dirikan PAUD Jaga Mimpi Anak-anak Tak Mampu
PADANG - Berjalan menyusuri gang selebar dua meter dari jalan utama Kelurahan Rawang Jondul, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), akan tampak bangunan semi permanen yang letaknya terpisah dari rumah penduduk yang lain.
Nuansa biru menyelimuti bagian bangunan dengan dinding papan, memberikan kesan nan tenang, ramah, serta bersahabat kepada tamu yang datang.
Di dalam rumah sederhana itulah berdiri Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Harapan Ibu, tempat anak-anak dari keluarga miskin menumbuhkan mimpinya dalam tiga tahun terakhir. Ruangannya memang tidak seluas atau semewah PAUD ternama yang ada di Kota Padang.
Akan tetapi segala keterbatasan tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena tidak ada siapapun yang bisa mengukur seberapa luas cita-cita di dalamnya.
Dalam tiga tahun terakhir, ruangan sederhana itu memegang peranan penting dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tempat anak-anak bersekolah secara gratis.
Anak-anak di lembaga itu diajari banyak hal, mulai dari bernyanyi, menggambar, pengenalan huruf dan angka, membaca, menulis, dan banyak kegiatan lainnya. Kegiatan dilaksanakan setiap Senin sampai Rabu dari pukul 08.00 WIB-10.30 WIB.
PAUD harapan Ibu adalah sekolah setingkat taman kanak-kanak yang lahir dari tangan seorang anggota TNI bernama Iwan Agus Purwantoro. Pangkatnya sersan kepala (serka).
Ia merupakan prajurit aktif TNI yang kini mengemban tugas sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) Koramil 03/Padang Selatan. Laki-laki yang akrab disapa Iwan itu rela mengorbankan waktu, tenaga, hingga biaya pribadinya demi mendirikan PAUD gratis yang dirintis.
Alasannya mulia, agar anak-anak yang berasal dari keluarga miskin bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain pada umumnya.
Iwan sebagai putera daerah sangat mengenal daerah Rawang dengan baik. Kecintaannya akan kampung halaman tidak pudar begitu saja, meskipun telah lama bertugas di daerah orang.
Rawang secara pemerintahan masuk dalam Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang. Posisinya di dekat laut dan pelabuhan Teluk Bayur yang tersohor. Sebagai seorang babinsa, ia juga kerap bergerilya menghabiskan banyak waktu di lingkungan masyarakat, setiap hari matanya melihat kondisi warga di desa binaannya.
Dari melihat warga yang berekonomi lemah, keterbatasan biaya, akhirnya Iwan ada panggilan untuk mendirikan PAUD gratis secara mandiri.
Semuanya Iwan siapkan sendiri, mulai dari pengerjaan bangunan, hingga PAUD diluncurkan secara resmi pada Maret 2020.
Lelaki berusia 49 tahun itu tidak pernah gengsi walaupun harus menjadi "tukang bangunan" dalam kurun waktu sekitar empat bulan.
Dasar yang menguatkannya hanya satu, yaitu keikhlasan. Sosok bersahaja itu menyadari hidup ini tidak di dunia saja. Karena itu niat mendirikan PAUD juga menjadi persiapan untuk bekal di akhirat.
Awalnya, ia kumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, seperti kayu, papan, paku, dan lainnya. Lalu mulai pengerjaan sedikit demi sedikit, bahkan tidak jarang hingga larut malam.
"Sering juga saya mengumpulkan kayu-kayu atau papan bantuan dari pihak lain untuk digunakan, kalau kondisinya masih bagus dan layak maka saya pakai," jelas Iwan ketika di temui ANTARA di lokasi PAUD.
Untungnya lahan yang dipakai adalah tanah ulayat adat dari kaum Iwan, yakni Suku Tanjung, sehingga ia tidak perlu membeli ataupun menyewa tanah demi mendirikan PAUD.
Suami dari Jumilah itu tidak menampik bahwa segala proses yang telah ia lalui sejauh ini telah mencuri waktunya bersama keluarga di rumah. Karena setiap pagi hingga sore ia berdinas sebagai babinsa, kemudian pada sore harinya ia mulai mengerjakan bangunan,-termasuk di hari libur.
Untungnya sang isteri Jumilah beserta tiga anaknya pengertian dan senantiasa mendukung apa yang Iwan lakukan.
"Iwan bersyukur, sebagai isteri prajurit, Jumilah sudah paham dan banyak membantu, sedangkan anak-anaknya diberi pemahaman bahwa sebagai keluarga TNI mereka punya tanggung jawab kepada masyarakat," kata dia.
Setelah pembangunan selesai, Iwan lalu mencari orang-orang berilmu dan berhati mulia yang bersedia menjadi guru bagi anak-anak itu tanpa digaji. Singkat kisah, terbentuklah struktur kecil yang menjadi "nafas" PAUD milik Iwan, yakni satu kepala sekolah dan tiga orang guru.
Kepala sekolahnya adalah Jumilah, sedangkan tiga orang guru adalah Susilawati, Maria Monica, dan Jummy Hartati.
Mereka berempatlah yang saling berkolaborasi demi menjaga denyut jantung PAUD agar tetap berdetak, didasari oleh rasa ikhlas serta ketulusan.
Dengan lugas Iwan menyampaikan kalau dirinya sengaja mendirikan PAUD demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), menyiapkan generasi penerus yang siap bersaing di era modern.
Dia selalu menyampaikan bahwa apa yang dibuat saat ini adalah untuk menciptakan generasi penerus yang pintar dan berprestasi.
Sesekali Iwan juga masuk ke dalam kelas untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak secara langsung, baik itu motivasi, wawasan kebangsaan, atau pengalamannya menjadi tentara sejak 1995.
Saat ditanyai apakah ia tidak merasa lelah, Iwan diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. Ia kemudian memberikan jawaban secara patriotik.
Diakui sebagai manusia tentu pernah mengalami rasa lelah, tapi sebagai seorang prajurit dan babinsa TNI, semua itu ini merupakan tanggung jawab. "Itu yang menguatkan saya," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, eksistensi PAUD itu terus berkembang. Murid yang awalnya hanya lima orang pada tahun ini telah menjadi 11 orang.
Rata-rata mereka semua berasal dari keluarga yang tidak mampu, orang tuanya bekerja sebagai buruh, kuli, dan lainnya.
Tuah dari PAUD itu untuk membantu keluarga yang tidak mampu benar adanya, bukan sekadar konsep atau teoritis. Hal itu diakui langsung oleh salah satu orang tua murid bernama Masilina Waruwu.
Adanya sekolah gratis dari PAUD itu meringankan beban pengeluaran keluarga para orang dalam menyekolahkan anak.
Jika tidak ada PAUD, puteri ketiga dari Masilina itu mungkin tidak akan mendapatkan pendidikan usia dini. Sebab di saat yang sama dua anaknya yang lain juga telah di sekolah dasar (SD).
Dirinya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sementara sang suami bekerja sebagai buruh harian lepas yang penghasilannya pas-pasan.
Masilina Waruwu juga menceritakan bahwa ini kali kedua ia memasukkan anaknya ke PAUD yang didirikan sang babinsa. Anak yang pertama telah lulus dan duduk kini di bangku SD.
Sebagai orang tua ia menilai sistem kekeluargaan di PAUD itu juga terasa kental. Hubungan antara guru dan orang tua terjalin dengan baik, dan semua anak diperlakukan sama, tanpa membedakan suku maupun agama.
Pada akhirnya, Serka Iwan telah memulai pengabdiannya yang menginspirasi. Kelak muridnya akan menjadi orang hebat, dan ia menyaksikannya sambil tersenyum puas.
Merajut Kerukunan
Selain mendirikan PAUD gratis, Serka Iwan juga menggerakkan berbagai unit kegiatan di kawasan setempat, mulai dari sanggar seni, kampung anti narkoba, kampung KB, hingga kampung Pancasila.
Dalam berbagai kegiatannya itu Iwan tidak pernah membatasi ataupun membedakan seseorang berdasarkan suku, agama, ataupun ras.
Malah sebaliknya, ia memberi ruang seluas-luasnya kepada seluruh pihak untuk membaur satu sama lain. Contohnya di sanggar seni, ia mempersilahkan anggotanya untuk menampilkan serta melestarikan seni budaya masing-masing.
Setidaknya kini jumlah anggota sanggar sebanyak 25 anak muda, mereka tetap bisa kompak dan saling menghormati di tengah perbedaan.
Dinobatkanya Rawang sebagai Kampung Pancasila adalah kebanggaan tersendiri bagi segenap warga di kelurahan setempat yang harus terus dipertahankan, dan Serka Iwan siap berdiri di barisan terdepan.