Peningkatan Transaksi Digital Bisa Jadi Ladang Bagi Penjahat Siber, Kok Bisa?
JAKARTA - Country Manager Indonesia Palo Alto Networks, Adi Rusli selama Media Briefing: Laporan Kondisi Keamanan Siber di ASEAN 2023 pada Senin, 18 September kemarin mengungkapkan, peningkatan transaksi digital di Indonesia 47 persen berasal dari e-commerce dan super app.
Menurutnya, peningkatan tersebut terjadi karena banyak perusahaan atau pelaku usaha yang ingin lebih terhubung dengan pemasok-pemasok dan pihak ketiga lainnya.
“Banyak sekali yang klaim super app dan banyak yang memanfaatkan keamanan siber. Dari B2B, banyak yang sudah membuka API untuk bisa menyambung ke pemasok, pelanggan, dan sebagainya,” ujar Adi dalam pemaparannya.
Berdampingan dengan peningkatan transaksi digital, ternyata terdapat dampak nyata risiko serangan siber, di mana lebih dari separuh (60 persen) organisasi di Indonesia merasa bahwa mereka berisiko tinggi terhadap ancaman keamanan siber, terutama yang bergerak di sektor Jasa (Perbankan dan Keuangan), Layanan Esensial, dan Manufaktur.
“23 persen organisasi di Indonesia mengakui adanya peningkatan insiden keamanan siber dan bahwa serangan yang mengganggu telah berkembang,” papar Adi lebih lanjut.
Menariknya, Adi justru mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki sumber daya manusia yang lebih mumpuni dalam segi penerapan solusi keamanan, justru menjadi target yang lebih diincar oleh penjahat siber, dibandingkan dengan Usaha Kecil Menengah (UKM).
Baca juga:
- State of Cybersecurity ASEAN 2023: 90 Persen Perusahaan di Asia Pasifik Yakin dengan Sistem Keamanannya
- Ancaman Siber Menargetkan UMKM, Bagaimana Cara Mencegahnya?
- Uni Eropa Hadapi Risiko Ketergantungan Baterai Lithium-ion dan Sel Bahan Bakar dari China
- Inggris Terapkan Prinsip-Prinsip Baru untuk Mengawasi Penggunaan Kecerdasan Buatan
Lebih lanjut, Adi menjelaskan bahwa mengakses akun dari perangkat lain atau mengambil alih kendali akun, dan juga masalah konektivitas 5G yang belum merata adalah beberapa penyebab hal itu bisa terjadi.
Untuk itu, Adi berpesan bahwa keamanan siber harus dibarengi dengan transformasi yang bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga individu dan budaya perusahaan.
“Keamanan siber harus disertai transformasi dari individu itu, bukan hanya teknologinya, tapi proses termasuk juga dengan budayanya. Misalnya membuat password yang sulit ditebak, tidak sharing. Harus dimulai dari mindset individunya dulu,” jelasnya.