Bos PLN Ungkap Telah Batalkan Rencana Pembangunan 13,3 GW PLTU Batu Bara

JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) berkomitmen penuh terhadap transisi energi dan menekan emisi. Ia menuturkan jika dalam dua tahun terakhir PLN telah membatalkan rencana pembangunan 13,3 Gigawatt (GW) pembangkit batu bara, mengganti 1,1 GW pembangkit batubara dengan EBT, serta menetapkan 51,6 persen penambahan pembangkit berbasis EBT.

"Kami sedang dalam proses merancang dan mendesain ulang perencanaan ketenagalistrikan nasional," ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo yang dikutip Kamis 7 September.

Dengan sistem baru ini, kata dia, PLN memahami adanya ketidaksesuaian antara sebagian besar sumber EBT dengan pusat beban sehingga pihaknya akan membangun green enabling super grid untuk menghubungkannya

Dirinya juga menyampaikan, saat ini PLN dalam proses mendesain dan membangun end-to-end smart grid. Dengan jaringan baru ini, PLN dapat meningkatkan porsi pembangkit energi surya dan angin dari 5 GW menjadi 28 GW.

"Pengembangan green enabling super grid dan end-to-end smart grid ini semakin mendesak untuk mengatasi ketidaksesuaian sumber EBT dengan pusat demand listrik dan mengakomodasi penetrasi EBT variable yang sangat masif," lanjut Darmawan.

Ia menambahkan, sistem inilah yang ke depan akan digunakan untuk mendukung pembangunan ASEAN Power Grid. Sistem ini diproyeksikan mampu menghubungkan transmisi lintas negara-negara di ASEAN, mulai dari Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

"ASEAN Power Grid bukan hanya soal listrik. Namun hal ini mencerminkan kekuatan baru ASEAN. Mencerminkan perubahan ASEAN yang sebelumnya terfragmentasi menjadi ASEAN yang bersatu, demi satu tujuan, kemakmuran bagi kawasan Asia Tenggara," pungkas Darmawan.

Lebih jauh ia mengungkapkan jika seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, permintaan pasokan listrik juga semakin tinggi.

"Hal ini menjadi tantangan bersama, bagaimana menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketahanan energi," kata dia

Menurut Darmawan, transisi energi kini semakin dimungkinkan karena tarif listrik dari energi baru terbarukan (EBT) semakin murah. Namun, kendala terbesar transisi energi adalah di sektor pembiayaan.

"Mengingat karakter pembangkit EBT yang membutuhkan investasi capital expenditure besar di awal, meski ongkos operasionalnya relatif lebih murah," pungkas Darmawan.