MK Tolak Uji Materi UU Pemilu Terkait Rekrutmen Anggota KPUD
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait rekrutmen calon anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan yang dipantau secara daring dari Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu, 30 Agsutus.
Adapun pemohon dalam perkara ini adalah mantan Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Papua Osea Petege. Ia mengajukan permohonan uji materi norma Pasal 23 ayat (1), 28 ayat (1), 31 ayat (1), 32 ayat (1), 33 ayat (1), 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU Pemilu.
Menurut pemohon, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) menyebabkan rendahnya kualitas, integritas, dan kompetensi atau kapabilitas penyelenggara pemilu karena hanya menitikberatkan pada hal-hal administratif.
Sementara itu, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) dinilai tidak mengakomodir konsep otonomi dan desentralisasi bagi daerah. Pemohon menilai proses penentuan, pemilihan, dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota masih menggunakan konsep sentralitas.
Dalam pokok permohonannya, Osea Petege menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, mahkamah berkesimpulan pokok permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
“Norma Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) UU 7/2017 tidaklah menimbulkan persoalan konstitusionalitas,” kata hakim MK Suhartoyo.
Kemudian pada petitumnya, pemohon meminta mahkamah menambahkan frasa “adil, objektif, independen, dan profesional melalui proses tes tertulis, tes psikologi yang terkomputerisasi, tes kesehatan, dan wawancara yang dapat diakses, dan diketahui oleh masyarakat” ke dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) UU Pemilu.
Terkait hal itu, Suhartoyo menjelaskan bahwa sesungguhnya permintaan pemohon telah diakomodir dalam UU Pemilu.
“Khususnya terkait dengan pengaturan mengenai seleksi calon anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang digunakan sebagai pedoman pada setiap tahapan 43 seleksi di masing-masing tingkatan/jenjang KPU dengan mendasarkan pada prinsip keterbukaan dan partisipatif,” kata Suhartoyo.
Lebih lanjut, mahkamah paham dengan maksud dan tujuan pemohon yang mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 37 ayat (4), dan Pasal 39 ayat (3) dengan mendasarkan pada argumentasi pemenuhan prinsip desentralisasi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 UUD 1945.
Akan tetapi, kata Suhartoyo, mahkamah penting menegaskan bahwa pola pengorganisasian KPU tidak bisa dan tidak boleh dipersamakan dengan pola pengorganisasian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Dalam hal ini, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang didesain bersifat mandiri namun terikat dalam garis hierarki hingga KPU RI. Terlebih lagi, dalam institusi KPU terdapat sifat nasional. Hal ini dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan pemilu terdapat satu kesatuan sistem,” katanya.