Polusi Udara Jakarta, Anggota DPR Dukung Rekayasa Cuaca Tapi Minta Kebijakan Jangka Panjang
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menyoroti kondisi udara DKI Jakarta yang saat ini kian memburuk. Rahmad mengapresiasi BMKG yang melakukan rekayasa cuaca di Jabodetabek.
“Memang rekayasa cuaca ini mahal biayanya, tapi mengingat penyakit IPSA yang meningkat tajam, belakangan ini, rekayasa cuaca layak dicoba,” ujar Rahmad kepada wartawan, Senin, 28 Agustus.
Rahmad menilai, pengendalian polusi udara harus dilakukan secara menyeluruh dibarengi dengan kebijakan yang berkelanjutan, baik jangka pendek, menengah dan panjang.
“Mengatasi polusi udara seperti di kota Jakarta yang padat kendaraan juga padat pabrik tidaklah mudah. Suatu kebijakan jangka pendek, katakan misalnya seperti pembatasan jumlah kendaraan, tidak akan serta merta mengubah udara jadi bersih. Jadi kebijakan ini harus berlanjut dengan kebijakan jangka menengah dan panjang,” kata Rahmad.
Dia menilai, kebijakan jangka pendek, yakni mengurangi buangan emisi kendaraan di Ibu kota cukup signifikan mengurangi kepekatan udara di Jakarta.
“Strategi yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, mengurangi kontribusi polusi udara yang di sebabkan oleh buangan emisi kendaraan saya kira cukup signifikan,’’ katanya.
Namun, lanjutnya, pengurangan jumlah kendaraan itu harus dilanjutkan dengan kebijakan jangka menengah. Misalnya, ajakan kepada ASN, khususnya yang bekerja di Jakarta untuk Work From Home (WFH) secara bergantian, meskipun upaya ini juga belum mencukupi.
"Para ASN yang bekerja di pemerintahan sebaiknya digilir agar WFH. Entah itu 50 persen atau berapapun persentasenya, itu bisa sedikit mengurangi beban polusi udara,” sebutnya.
Karena itu, tambah Handoyo, perlu kebijakan jangka panjang seperti penggunaan enerji ramah lingkungan. "Enerji panas bumi, meski mahal tapi itu perlu dikalkulasi, perlu dihitung dengan cermat,” katanya.
Selain itu, Rahmad mengimbau agar ada penertiban buangan emisi pabrik-pabrik yang beroperasi di seputar Jabodetabek. Di mana itu menjadi salah satu biang kerok polusi.
“Harus ada batasan toleransi menyangkut emisi pabrik tersebut. Kalau melewati batas toleransi, ada denda. Jika ada denda, maka pada waktunya, mereka akan berpikir untuk menggunakan teknologi yg lebih ramah lingkungan. Ini kebijakan,” tegasnya.
Legislator dapil Jawa Tengah itu menilai, DKI Jakarta bisa mencontoh langkah-langkah drastis yang pernah dilakukan pemerintah China saat negara tirai bambu tersebut dikepung polusi udara yang ekstrem.
Baca juga:
“Kita bisa belajar dari apa yang telah dilakukan pemerintahan China. Mereka berhasil menangani polusi udara karena fokus mengubah sumber energi di tiga sektor, yakni industri, transportasi, dan perumahan. Nah, kalau China bisa, tentunya kita juga bisa,” kata Rahmad.
“Saya kira pemerintah sudah punya pembanding, punya kajian. Tinggal bagaimana implementasi kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang,” imbuhnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan hujan yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang Selatan pada Minggu, 27 Agustus, malam merupakan hasil modifikasi cuaca untuk mengatasi masalah kualitas udara.
Hal ini dikonfirmasi langsung Kepala BMKG Dwikorita. Dia menyebut saat ini Indonesia masih musim kemarau, sehingga hujan yang turun merupakan rekayasa cuaca.
"Sekarang masih musim kemarau. Hujan turun karena sedang dilakukan penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC)," kata Dwikorita.