PPKM Tak Efektif, Pemerintah Harus Apa?
JAKARTA - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali dianggap tidak efektif. Bukan hanya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), sejumlah kepala daerah juga mengakui jika aturan ini tak berhasil menekan laju penambahan kasus COVID-19 di Tanah Air.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengakui pembatasan kegiatan masyarakat yang diterapkan sejak 11 Januari dan masih berlangsung hingga saat ini, tak efektif mencegah penularan COVID-19 di tengah masyarakat. Sebab, angka kasus COVID-19 di Jakarta malah meningkat.
Per tanggal 1 Februari, ada 24.793 kasus aktif COVID-19 dengan akumulasi 273.332 kasus. Sementara, tingkat positif dari jumlah spesimen yang dilakukan pemeriksaan PCR atau positivity rate sebanyak 17,4 persen.
"Evaluasinya PPKM memang belum membuahkan hasil yang baik seperti harapan kita bersama. Memang disebabkan akibat libur panjang akhir tahun," kata Riza kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 2 Februari.
Selain dampak liburan akhir tahun, politikus Partai Gerindra ini juga menganggap tingginya kasus COVID-19 juga disebabkan masyarakat yang sudah jenuh untuk tetap tinggal di rumah. Sehingga, banyak yang bepergian ke luar dan bertemu banyak orang.
Selain itu, kata Riza, hal ini juga disebabkan tingginya jumlah pemeriksaan COVID-19 DKI. "Angka penyebaran ini juga tinggi disebabkan oleh tingginya testing yang dilakukan oleh Pemprov DKI sudah 111 ribu dalam sepekan. Artinya, 11 kali lebih tinggi dari yang diminta oleh WHO," ungkap Riza.
Meski PPKM tak memiliki hasil yang optimal dalam melandaikan kasus, dia menganggap kebijakan tersebut sebagai hal yang baik karena menyeragamkan aturan pembatasan di sejumlah daerah.
"PPKM ini ada baiknya. Kenapa? Karena, dengan adanya PPKM ini, (pemerintah, red) pusat menyeragamkan kebijakan dari semua daerah. Tidak hanya Jakarta atau Jabodetabek, tapi juga se-Jawa dan Bali," ujar dia.
Senada dengan Riza, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi juga menilai PPKM tidak efektif. Kebijakan ini tak efektif, katanya, karena mobilitas masyarakat masih tinggi meski pemerintahannya telah berupaya menekan penyebaran COVID-19.
"Kita sudah setahun melakukan ini, tiap malam lakukan sweeping, pendisiplinan pada masyarakat, usaha malam. Tapi pelaksanaannya masih kucing-kucingan," tegasnya.
Padahal, untuk mengadang penyebaran COVID-19 dibutuhkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat.
"Harusnya sama-sama kita, bergandengan tangan untuk lakukan pendisiplinan, edukasi, sosialisasi pada masyarakat. Sehingga COVID-19 bisa dihentikan, tekan. Tugas kita sekarang ini, dengan melakukan pendisiplinan, jadi yang terpapar COVID-19 bisa kita atasi," katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menyebut pelaksanaan pembatasan ini jauh dari kata efektif. Hal ini disampaikannya saat rapat terbatas bersama sejumlah menteri dan disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden pada Sabtu, 30 Januari lalu.
Bukan hanya tak efektif, saat itu, di hadapan para pembantunya dia mengatakan pemberlakuan pembatasan ini juga cenderung tak tegas dan konsisten.
"Saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11 sampai 25 Januari, kita harus ngomong apa adanya ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi. Karena kita memiliki index mobility-nya juga ada sehingga di beberapa provinsi COVID nya tetap naik," kata eks Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Sehingga, dia kemudian meminta para menteri di kabinetnya untuk melibatkan epidemiolog saat menyusun kebijakan terkait dengan penanganan pandemi COVID-19 di Tanah Air.
"Sebetulnya esensi PPKM ini kan membatasi mobilitas, namanya saja kan pembatasan kegiatan masyarakat. Tetapi yang saya lihat, di implementasinya ini kita tidak tegas dan tidak konsisten. Ini hanya masalah implementasi," tegasnya.
Jawaban Satgas COVID-19 soal anggapan PPKM tak efektif
Berbagai anggapan jika PPKM tak efektif kemudian ditanggapi oleh Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito. Kata dia, pembatasan ini baru bisa efektif untuk menekan laju penularan COVID-19 jika masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan.
"Intinya pelaksanaan PPKM di Jawa-Bali dapat berjalan apabila masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan 3M, dan ketentuan lainnya yang berlaku selama masa PPKM, dan penegakan peratuan PPKM oleh pemerintah daerah," kata Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan oleh akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 2 Februari.
Dia menyebut, selama ini masih banyak masyarakat yang tidak patuh dalam menerapkan protokol kesehatan dan masih banyak yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya. Akibatnya, kebijakan ini tak dapat mencegah penularan COVID-19 di tengah masyarakat.
Karena itu, ke depan pemerintah bakal mengkaji kembali kebijakan yang selama ini sudah dicanangkan demi mencegah penularan virus ini di tengah masyarakat.
"Pemerintah tentunya akan mengkaji berbagai kebijakan untuk menekan peningkatan kasus positif yang muncul di masyarakat," tegasnya.
Baca juga:
Epidemiolog: evaluasi perlu dilakukan
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap aturan pembatasan di wilayah Jawa-Bali ini.
"Ini adalah waktu untuk benar-benar menjadi masa evaluasi menyeluruh dari strategi yang sudah dilakukan," kata Dicky kepada VOI.
Evaluasi menyeluruh ini penting karena kebijakan PPKM yang sebenarnya sama seperti kegiatan pembatasan sosial yang sejak awal pandemi dilakukan, ternyata tak berhasil menekan angka kasus COVID-19.
Lebih lanjut, dia menyebut PPKM di Jawa-Bali ini belum tepat karena dia menganggap penerapan 3T yaitu testing, tracing, dan treatment tidak dilaksanakan dengan baik.
"Jadi di Jawa ini tidak tepat karena PPKM ini harusnya tetap dibarengi dengan penguatan 3T dengan masif. Katakanlah 200 ribu-an tes dalam sehari, dengan tracing 80 persen dari kasus kontak dan karantina langsung dilakukan," tegasnya.
"Ini yang harusnya dilakukan. Tapi, kalaupun memang tidak mau PSBB atau PPKM dilakukan, ya konsekuensinya lakukan testing masif dengan tracing ketat dan pembatasan tetap dilakukan. Jadi memang 3T masif agresif itu harus," pungkasnya.