KPK Menghadapi Basarnas Sebagai Lembaga Operasi Militer Selain Perang
JAKARTA – Kasus penetapan mantan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) 2021-2023, Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka korupsi pengadaan peralatan SAR oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 Juli 2023, memicu polemik. Sengkarut tersebut berkaitan dengan status Henri yang masih tercatat sebagai militer aktif.
Pihak TNI merasa ada pelanggaran prosedur yang dilakukan KPK dengan penetapan seorang militer aktif oleh lembaga sipil. Sebab itu Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda R. Agung Handoko mendatangi Gedung KPK pada 28 Juli.
“Kita mau selesaikan. Rekan-rekan KPK yang melakukan penangkapan belum membuat laporan resmi kepada kami selaku penyidik di lingkungan militer,” ujar Agung dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jumat 28 Juli.
"Nanti setelah kami dalami kembali tentunya dengan bukti-bukti yang cukup akan kami tingkatkan menjadi atau masuk pada proses penyidikan dan kami tetapkan sebagai tersangka. Tapi mekanisme penetapan sebagai tersangka ini adalah kewenangan TNI sebagaimana undang-undang yang berlaku,” kata Agung lagi.
Henri ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan barang senilai Rp88,3 miliar. Penetapan terhadap dirinya dilakukan setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Selain Henri Alfiandi, ada enam warga sipil yang merupakan pengusaha rekanan Basarnas, dan satu anggota militer aktif yang menjadi tersangka yaitu Letkol Afri Budi Cahyanto. Afri merupakan orang kepercayaan Henri, dan menjabat sebagai Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Basarnas.
Cerita menjadi lucu karena KPK menyatakan permintaan maaf, setelah Danpuspom mendatangani kantor lembaga antirasuah tersebut.
“Di sini ada kekeliruan dari tim kami ada kekhilafan. Oleh karena itu, tadi kami sampaikan atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” kata Johanis Takai, Wakil Ketua KPK usai pertemuan dengan Danpuspom TNI, Marsda Agung pada 28 Juli.
Menurut Johanis, seharusnya berkoordinasi dengan Puspom TNI, sebab Henri Alfiandi dan Arfi merupakan militer aktif. Hanya saja, hal tersebut urung dilakukan oleh penyidik. Sesuai Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Hukum Peradilan, tiap tindak pidana yang melibatkan militer harus diserahkan ke pengadilan militer.
Dua hari sebelum Danpuspom datang, KPK melalui Wakil Ketuanya, Alexander Marwata sudah mengeluarkan pernyataan bahwa Henri dan Arfi akan diserahkan ke Puspom TNI. Menurutnya itu sudah sesuai dengan UU KPK Pasal 42, yang menyebutkan KPK dapat mengoordinasikan maupun mengendalikan penyelidikan hingga penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan prajurit TNI.
Soal Wewenang KPK Terhadap Militer
Kesan yang muncul saat ini adalah KPK berbuat kesalahan, dan tidak berhak menentukan status perwira militer aktif sebagai tersangka korupsi. KPK seolah tidak punya wibawa saat berhadapan dengan institusi militer, dan hanya galak jika berurusan dengan sipil.
Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan melontarkan kritik keras terhadap tindakan KPK yang menganulir penetapan Henri dan Arfi sebagai tersangka korupsi. Dalam cuitan di Twitternya pada 28 Juli, Novel menyebutkan bahwa pimpinan KPK tidak bertanggung jawab.
“Pimpinan KPK tidak tanggung jawab,” Novel mencuit di akun Twitternya, @nazaqistsha.
Novel menyebutkan bahwa setelah OTT pasti akan dilakukan gelar perkara bersama tim satgas. Novel beranggapan permintaan maaf dan pernyataan bahwa penyidik KPK khilaf adalah tidak tepat.
KPK sebenarnya memiliki payung hukum untuk menangani keterlibatan aparat militer dalam tindak pidana korupsi. Payung hukum tersebut adalah Pasal 42 Undang-Undang KPK, yang menyebutkan:
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
Selain itu, Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga menyebutkan:
- Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
- Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
- Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 65 Ayat 2 juga dapat menjadi dasar hukum KPK melakukan penindakan terhadap aparat militer.
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang,” begitu tertulis dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 65 Ayat 2.
KPK juga dapat menggunaan UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan:
- Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
- pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e.orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
- Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Menurut Alexander Marwata, sebenarnya dalam gelar perkara yang dihadiri pimpinan hingga penyidik dari KPK maupun Puspom TNI tak ada yang keberatan dengan ditetapkannya Henri dan Afri sebagai tersangka.
Hanya saja, surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan KPK hanya untuk tiga orang sipil, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Dirut PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, Dirut PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
"Untuk oknum TNI penanganannya akan diserahkan ke Puspom TNI. Oleh karena itu KPK tidak menerbitkan sprindik atas nama anggota TNI yang diduga sebagai pelaku," kata Marwata dalam pernyataan tertulis pada 29 Juli.
Baca juga:
Menkopolhukam Mahfud MD dalam pernyataan tertulisnya menyebutkan, bahwa polemik antara KPK dan TNI soal OTT dua anggota militer pada OTT Basarnas harus disudahi.
“Yang penting masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikordinasikan sebelumnya kepada TNI ini harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui Pengadilan Militer. Perdebatan tentang ini di ruang publik jangan sampai menyebabkan substansi perkaranya kabur sehingga tak berujung ke Pengadilan Militer,” begitu tertulis dalam poin ketiga, pernyataan tertulis Mahfud MD, 29 Juli.
Presiden Jokowi juga angkat bicara soal kasus OTT Basarnas yang melibatkan anggota militer.
“Seperti misalnya E katalog. Sekarang yang masuk sudah lebih dari empat juta produk, yang sebelumnya hanya 50 ribu. Artinya itu perbaikan sistem. Kalau ada yang melompati sistem dan mengambil dari situ. Kalau terkena OTT, ya hormati proses hukum yang ada,” kata Jokowi pada 27 Juli.
Alasan Kepala Basarnas Selalu Militer
Sejak dibentuk pada 1972 lewat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1972 dengan nama Badan SAR Indonesia (BASARI), Basarnas selalu dipimpin oleh unsur militer berpangkat perwira tinggi bintang dua atau tiga. Tugas pokok Basarnas adalah menangani musibah kecelakaan dan pelayaran.
Nama Basarnas dikukuhkan tahun 1980 lewat Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM.91/OT.002/Phb-80 dan KM 164/OT.002/Phb-80, tentang organisasi dan aturan kerja Departemen Perhubungan. Semula Basarnas berada di bawah Kementerian Perhubungan, namun sejak November 2006 Basarnas berada langsung di bawah Presiden, ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006.
Kepala Basarnas dijabat oleh perwira tinggi militer dari matra TNI AU dan TNI AL atau Marinir. Dari 16 Kepala Basarnas yang menjabat hanya dua yang pernah diangkat dari Marinir, yaitu Letjen Nono Sampono (Desember 2010-Juli 2011) dan Letjen M. Alfan Baharudin (Agustus 2012- Maret 2014).
Di Indonesia, Basarnas dikategorikan sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sehingga memang diperlukan keterlibatan unsur TNI. Selain Basarnas, lembaga yang dikategorikan OMSP adalah: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Pasukan Garuda yang sering dikirimkan untuk misi Pasukan Perdamaian PBB lewat Kontingen Garuda (KONGA). Jadi tak heran, jika unsur keterlibatan TNI di Basarnas sangat kental.
Syarat penugasan lembaga-lembaga OMSP tersebut harus berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara yang ditetapkan oleh Presiden atau Kepala Pemerintah. Dengan kebijakan atau regulasi tersebut, TNI dapat melakukan tugas OMSP secara legal dan pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaannya.
Kasus OTT korupsi Basarnas yang melibatkan Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto sebagai anggota militer menjadi rumit, karena mereka terlibat tindak pidana dalam lingkup nonmiliter. Karena itu tindak pidana yang dilakukan oleh Henri dan Afri tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Selain itu, juga tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
"Jadi, pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum," kata Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro dilansir Antara, Jumat, 28 Juli.