Menkes: Presiden Minta Tempat Karantina Khusus Penderita TBC

JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Presiden Joko Widodo memberikan arahan untuk menyiapkan sebuah tempat karantina khusus penderita tuberculosis (TBC) selama dua bulan guna mencegah penularan penyakit tersebut.

“Arahan Presiden coba disiapkan tempat karantina khusus, tetapi kalau bisa dekat dengan masing-masing lokasi di mana terjadi tuberculosis ini. Jadi, selama dua bulan dia tidak menulari keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus,” kata Budi usai mengikuti rapat terbatas percepatan eliminasi tuberculosis di Istana Kepresidenan Jakarta dilansir ANTARA, Selasa, 18 Juli.

Menkes mengatakan karantina diperlukan karena obat untuk penderita TBC baru bereaksi dalam dua bulan. Menkes mengaku diminta Presiden untuk bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam menyiapkan tempat karantina itu.

“Saya disuruh kerja sama dengan PUPR di bawah koordinasi Menko PMK agar TBC tidak menular dan diberikan obat dipastikan dua bulan dia (penderita) minum obat terus,” ujarnya.

Dipastikan akan ada vaksinasi bagi masyarakat untuk mencegah TBC. Dia mengatakan Indonesia sebetulnya sudah memberikan vaksin BCG yang selama ini diberikan kepada anak-anak untuk mencegah TBC, namun efektivitasnya hanya 50 persen.

“Vaksin BCG yang kita dulu kecil dikasih itu efektivitasnya rendah sekitar 50 persenan. Sekarang Indonesia sudah berpartisipasi aktif dengan organisasi dunia, sudah ada tiga potensi vaksin baru yang akan segera kita coba datangkan,” kata dia.

Menkes menjelaskan penyakit TBC merupakan penyakit sejak ribuan tahun yang lalu dan saat ini tersisa di beberapa negara besar. Dia mengatakan negara peringkat pertama dengan jumlah penderita TBC terbanyak adalah India, peringkat kedua Indonesia dan peringkat ketiga China.

Menurut dia, kematian akibat TBC per tahun sebanyak 200.000 jiwa lebih, atau lebih tinggi dari kematian akibat COVID-19.

"Di Indonesia diestimasi setiap tahun ada 969.000 warga kita yang terkena TBC dan sampai sebelum COVID-19 paling banyak yang bisa teridentifikasi 545.000 jiwa. Jadi, sisanya itu 400.000 jiwa tidak terdeteksi, padahal penyakit ini menular bisa ke mana-mana," kata Budi.