Review Film Rose, Menyelami Pikiran Pengidap Skizofrenie

JAKARTA - Film Rose menghadirkan kisah penyakit jiwa skizofrenia mungkin telah banyak. Tapi film Rose memberi perspektif unik. Film ini mengajak penonton menyelami pikiran pasien, tokoh-tokoh fiktif yang berkelebatan di benaknya, hingga yang paling penting berempati kepadanya.

Film karya sineas Niels Arden Oplev ini berada dalam genre drama keluarga yang ditaburi sentuhan komedi dalam dialog-dialog sederhana para tokoh.

Rose tak hanya mengandalkan kekuatan naskah yang intim sejak awal. Di baris depan, ada Sofie Grabol, Lene Maria Christensen, dan Anders W. Berthelsen yang menggerakkan cerita dengan chemistry yang lengket hingga ke menit-menit akhir tanpa kehilangan tensi.

Jangan mencari film ini di biskop (karena memang tidak tayang regular dalam format layar lebar di Indonesia), apalagi di situs bajakan. Rose dapat Anda akses secara legal mulai bulan ini di platform streaming KlikFilm.

Film bermula saat di dalam bus, Inger memperkenalkan diri sebagai pengidap Skizofrenia. Ini membuat turis lain syok. Namun, kejujuran Inger menyita perhatian Christian (Luca Riechardt Ben Coker).

Bocah laki-laki ini pelesir ke Paris bersama orangtua, Andreas (Soren Malling) dan Margit (Christiane Gjellerup Koch). Andreas memperingatkan putranya untuk tidak terlalu dekat dengan Inger. Makin dilarang, inteaksi Christian dan Inger malah menguat.

Yang membuat Rose mudah dicintai penonton, Inger tak ditempatkan sebagai pesakitan tanpa daya. Ia tampak manusiawi bahkan saat penyakitnya kambuh, kita bisa memahami dan tetap sayang. Kadang, perilakunya menyebalkan.

Niels Arden Oplev bisa menerjemahkan dengan detail bagaimana Skizofrenia berdampak tak hanya ke psikis tapi juga fisik pasien yang bertransformasi menjadi ringkih dan tampak sekian tahun lebih tua daripada mereka yang sehat.

Jujur saja, dalam film ini Inger sebagai poros tampak lebih tua dari Ellen dan sepantaran dengan ibu kandungnya. Di sinilah, penggambaran karakter berpenyakit Skizofrenia terasa riil dan meyakinkan.

Performa Sofie Grabol dari gaya bicara, cara menatap lawan bicara, merengek hingga marah, postur tubuh kala berdiri maupun berjalan, semuanya terasa believable. Ditambah dengan gaya berbusananya, tanpa bicara pun penonton paham ada yang tak beres dengan psikis Inger.

Ellen dan Vagn adalah support system yang imperfect. Justru di sinilah titik kesempurnaan drama keluarga berbasis isu kesehatan mental ini. Terlalu film jika Ellen digambarkan 100 persen sabar dan tak pernah marah. Jika diperlukan, ia tak segan menampar.

Niels Arden Oplev sadar betul, tanpa didramatisasi, materi Rose sudah drama banget. Maka, serpihan bumbu komedi berkali ditabur agar Rose tak terlalu pekat sembari tetap fokus pada perjalanan batin pasien dengan penyakit jiwa.

Kekuatan lain film ini, sejatinya ada pada pemilihan pemain. Semua yang muncul di layar berakting prima. Yang bikin kami penasaran adalah sekeren apa sih Jacques hingga Inger sampai “kehilangan nalar” kala putus cinta.

Ujungnya, kami maklum jika berada di posisi Inger. Belum lagi, di sejumlah adegan, dijelaskan seberapa dalam Inger melangkah bersama Jacques termasuk aktivitas seksual mereka yang lumayan liar.

Rose bukan hanya perjalanan psikis Inger. Ia adalah perjalanan psikis penonton untuk memahami kondisi orang lain. Bahwa dalam perjuangannya melawan penyakit dan berdamai dengan keadaan, Inger masih bisa bermanfaat serta membahagiakan orang lain.

Rose adalah tamparan bagi nurani penonton yang mengaku waras. Sudahkah kita menjadi manfaat bagi sesama meski hanya dengan kebaikan senoktah? Jangan harap Rose menyajikan mukjizat dahysat soal kesembuhan.

Film ini berbicara mukjizat dalam skala “mikro” tentang kasih sayang adik, berdamai dengan masa lalu, menjadi mnafaat meski dilabeli “gila”, dan setumpuk keajaiban hati lain. Adegan akhir Rose simpel tapi dalam banget. Wajib tonton.