Pengamat Energi Nilai Campur Tangan IMF Hambat Hilirisasi: Lawan Cawe-cawe!

JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, intervensi yang dilakukan International Monetary Fund (IMF) terhadap kebijakan ekonomi Indonesia dapat meghambat program hilirisasi.

IMF kali ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang program hilirisasi melalui pelarangan ekspor bijih nikel.

Menurut Fahmy, intervensi IMF tersebut tidak hanya menghambat program hilirisasi, tetapi juga menghalangi Indonesia menjadi nergara maju.

"Hanya satu kata, lawan cawe-cawe IMF hambat program hilirisasi, yang akan menghantarkan Indonesia menjadi negara maju," ujarnya dalam keterangan yang diterima VOI, Sabtu, 8 Juli.

Ia menjelaskan, sejak Januari 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan kebijakan larangan ekspor biji nikel. Jokowi bahkan bergeming saat kebijakan itu diadukan ke World Trade Organization (WTO).

Kendati kalah di Forum WTO, Jokowi justru semakin bernyali melanjutkan pelarangan ekspor seluruh hasil tambang dan mineral.

Melalui dokumen berjudul “IMF Executive Board Concludes 2023, selain peninjuan ulang larangan eksapor bijih nikel, IMF juga merekomendasikan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel harus berlandaskan cost and benefit analysis (analisis biaya dan manfaat) dan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.

"Program hilirisasi sesungguhnya sudah terbukti memberikan manfaat dalam menaikkan nilai tambah yang berlipat-ganda," lanjut Fahmy.

Kemudian, dua tahun pascapelarangan ekspor bijih nikel, Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor produk turunan nikel hingga 19 kali lipat.

Semula pendapatan ekspor bijih nikel hanya Rp17 triliun pada 2017 meningkat menjadi Rp323 triliun pada 2022.

Selain menaikkan nilai tambah, lanjut dia, program hilirisasi akan menciptakan ecosystem industri dari hulu hingga hilir.

"Kalau ekosistem industri telah terbentuk, pada saat itulah Indonesia akan menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang ditopang oleh kontribusi sektor industri, bukan sektor konsumsi," pungkas Fahmy.