Pemberian Subsidi Harga Gas Industri Harus Diikuti Mekanisme Kontrol
JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam meminta pemerintah untuk membuat mekanisme kontrol terkait rencana penurunan harga gas bumi ke sektor industri seperti tercantum dalam Perpres 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi.
Hal itu dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana nilai tambah dan kontribusi sektor industri penerima harga gas bumi tertentu terhadap perekonomian nasional. Mekanisme kontrol ini dapat juga menjadi bahan evaluasi pemerintah apakah akan meneruskan kebijakan ini atau tidak.
"Pelaksanaan Perpres No 40 tahun 2016 untuk melakukan penyesuaian harga gas bumi untuk industri tertentu harus dilakukan setelah adanya skema yang pasti mengenai dampak positif ke terhadap ekonomi nasional,” kata Ridwan dalam keterangan yang dikutip, Kamis 19 Februari.
Lebih lanjut Ridwan menilai Perpres 40 tahun 2016 sejatinya memiliki tujuan agar industri dapat memberikan nilai tambah untuk mendorong perekonomian nasional. Mekanismenya dilakukan melalui pengurangan penerimaan negara dari hulu. Skema ini pada prinsipnya merupakan bentuk “subsidi” dari negara kepada industri.
Oleh karena itu, ia menambahkan, jika pemerintah ingin kembali menerbitkan Permen ESDM untuk menetapkan harga gas bumi tertentu kepada industri sesuai ketentuan, maka harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Karena, kata dia, pengurangan penerimaan bagian negara dari hulu yang tidak disertai pemulihan berupa nilai tambah yang diberikan industri, justru akan membuat defisit APBN semakin besar.
"Selain itu pemberian subsidi harga gas ini juga harus diikuti dengan peningkatan pajak oleh sektor industri penerima subsidi," tambahnya.
Menurut politikus partai Golkar ini, jika mekanisme subsidi gas industri dipilih, pemerintah harus menginisasi skema APBN agar terdapat fungsi pengawasan dan fungsi budgeting dari DPR.
Ini penting untuk memastikan tidak terganggunya keuangan negara. Jangan sampai, pengorbanan pemerintah tidak mampu menciptakan nilai tambah bagi industri baik secara langsung maupun tidak langsung. Skema ini pun adalah amanat dari UU Keuangan Negara.
“Tidak optimalnya subsidi pemerintah untuk industri juga akan menciptakan defisit anggaran yang besar di APBN 2020 dan seterusnya. Di RAPBN 2020, defisit anggaran diperkirakan mencapai lebih dari Rp 307 triliun,” ungkap Ridwan.
Baca juga:
Sejatinya harga jual gas industri yang berlaku saat ini masih jauh lebih efisien dibandingkan penggunaan BBM seperti High Speed Diesel (HSD) dan Marine Fuel Oil (MFO). Berdasarkan data per 20 Januari 2020 harga gas industri berkisar 8,87 dolar per MMBTU.
Sementara harga BBM Industi jenis HSD adalah Rp13.365 per liter atau setara 27,20 dolar AS per MMBTU dan jenis MFO sebesar Rp11.220 per liter atau setara 21,19 dolar AS per MMBTU. Dengan demikian, harga gas bumi industri hanya berkisar 32 persen dari harga HSD dan 42 persen dari harga MFO.
"Tanpa subsidi harga gas sesungguhnya industri sudah mendapatkan efisiensi dibandingkan menggunakan BBM. Karena itu jika diberikan subsidi lagi pemerintah harus bisa mengukur dampak ekonomi ke negara," ujar Hisyam.
Pada tahun 2016, Kementerian ESDM telah mengimplementasikan Perpres 40 tahun 2016 dengan melakukan penyesuaian harga beli gas bumi dari hulu. Selama ini terdapat 7 kategori industri yang terdapat dalam Perpres 40 tahun 2016 yang dapat memperoleh harga gas bumi tertentu yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, kaca, keramik, dan sarung tangan karet.
Namun hanya terdapat 3 industri yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical yang menggunakan gas bumi sebagai bahan baku/ feed stock. Sementara 4 kategori lainnya hanya menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar atau burner.
Dari 7 sektor industri, baru tiga sektor industri yang mendapatkan manfaat dari Perpres 40 tahun 2016 yaitu sektor pupuk, petrokimia, dan baja.
Analis Danareksa Niko Margaronis menilai bahwa penurunan harga gas industri akan memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor industri. Namun berapa besar nilai tambah yang diberikan oleh sektor industri penerima subsidi harga gas ini belum bisa diukur.
Yang pasti, lanjut Niko, kebutuhan energi yang lebih efisien saat ini sangat dibutuhkan oleh banyak pelaku industri. Itu sebabnya, pembangunan infrastruktur gas semestinya lebih menjadi prioritas agar penyebaran gas bumi dapat menjangkau lebih banyak wilayah di daerah.
"Seperti di pulau Jawa itu butuh infrastruktur agar energi bisa tersebar merata ke banyak industri. Karena itu penting sekali pembangunan infrastruktur seperti pipa gas jadi prioritas untuk mendukung penguatan industri yang berdaya saing tinggi," ujarnya.