Kesal dengan Anggota DPR Tak Perlu Sampai Harus Ubah Nama Gedung Parlemen di Google Maps

JAKARTA - Nama Gedung DPR/MPR mendapat olok-olok di Google Maps, diubah menjadi sejumlah nama lain yang berkonotasi sangat negatif dan tidak pantas.

Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Ari Junaedi menyayangkan pengubahan nama Gedung DPR di Google Maps itu. Menurutnya, gaya kritik yang disampaikan sebagian pihak terhadap DPR tersebut telah melampaui koridor kesopanan.

"Kritik yang benar adalah bisa menyentil kuping dengan panas tanpa harus menjewernya dengan keras. Penyampaian pendapat harus berpijak kepada persoalan yang terjadi disertai data dan fakta yang mendukung," ucap Ari, Rabu 5 Juli.

Ari menilai perlu adanya perbaikan budaya komunikasi masyarakat Indonesia sebab keterbukaan informasi sebaiknya tetap mengedepankan nilai-nilai kesopanan.

“Koridor kesopanan sebagai orang Timur tetap harus kita kedepankan bersama. Esensi kritik tidak harus disampaikan dengan sarkasme tetapi harus elegan menyampaikan kritik disertai solusi," ucap Ari.

“Pemilihan bahasa yang tidak sopan atau tidak pantas menjadi cerminan bangsa, bukan instansi tertentu saja, jadi perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran publik akan hal ini," sambung Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama itu.

Ari memahami kegeraman publik yang menganggap kinerja DPR kurang atau masih adanya kelemahan fungsi-fungsi yang dijalankan lembaga legislatif itu. Namun era keterbukaan disebut tidak harus disikapi dengan pernyataan-pernyataan yang melanggar norma kesopanan.

"Kegeraman masyarakat tentu bisa kita maklumi. Akan tetapi jika menyematkan kata-kata yang seronok dan kasar di saat DPR sudah menjalankan fungsi kontrol, legislasi dan penganggaran walau DPR belum maksimal, tentu juga tidak pantas," ujar Ari.

Sumpah serapah yang diungkapkan sebagian orang lewat pengubahan nama Gedung DPR di Google Maps memang dinilai Ari tidak terlepas dari perilaku sebagian oknum anggota dewan yang dianggap mengecewakan. Termasuk perilaku korup sejumlah anggota DPR.

“Tidak semua publik memang bisa mengekspresikan kekecewaannya dengan narasi yang santun tetapi setidaknya tidak elok juga menyamaratakan semua anggota dewan dengan stigma buruk dan mengecewakan,” sebut Ari.

“Sejauh ini DPR tetap kritis kepada Pemerintah walau sebagian besar Dewan diisi partai-partai koalisi pendukung Pemerintah. Bagimana Dewan tetap kritis terhadap rencana pembelian pesawat uzur dari Qatar. DPR juga resah dengan kinerja Polri yang tidak optimal dan lain-lain,” jelasnya.

Ari menambahkan, hujatan kali ini menambah daftar tantangan bagi DPR RI untuk semakin berbenah diri, sekaligus sebagai sarana untuk membuktikan bahwa tuduhan miring tersebut justru menjadi motivasi bagi wakil rakyat memberikan kinerja sebaik-baiknya dalam fungsi pengawasan, legislasi dan penganggaran.

"Anggap saja ini warning dari sebagian pihak yang tidak puas dengan capaian dan kinerja DPR. Memuaskan semua orang memang tidak identik dengan tidak adanya kritik sama sekali. Justru DPR harus terus membumi dan terus menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya," terang Ari.

Mayoritas anggota DPR sendiri menanggapi kritikan dari masyarakat di Google Maps itu dengan santai. Ari pun memuji sikap anggota dewan yang tidak reaktif dan menilai DPR telah menunjukkan sebagai lembaga yang tidak anti-kritik.

“Sikap DPR yang adem ayem terhadap kritik keras dari sebagian pihak tersebut menunjukkan kedewasaan DPR yang tidak harus selalu reaktif dan ‘tidak sedikit-dikit’ lapor polisi,” ungkapnya.

"Kritik tidak harus dibalas dengan kritik, justru kritik harus disikapi dengan kinerja yang baik walau sebagian besar anggota Dewan akan berlaga kembali di pentas pemilu legeslatif," lanjut Ari.