Perbanyak Pelatihan Bagi Tenaga Pengajar Bisa Tekan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani mendorong Pemerintah memperketat pengawasan menyusul banyaknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Ia menekankan, rentetan kekerasan seksual yang banyak melibatkan tenaga pengajar harus menjadi prioritas.
"Kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditoleransi. Untuk itu Pemerintah harus memperketat pengawasan di setiap penyelenggaraan kegiatan pendidikan," kata Puan, Senin (5/6/2023).
Merujuk catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sudah terjadi 15 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 124 anak dan remaja untuk periode Januari-April 2023 saja. Sebanyak 46,67 persen terjadi di jenjang sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), kemudian 13,33 persen di jenjang SMP, lalu 7,67 persen terjadi di SMK, dan 33,33 persen di Pondok Pesantren (Ponpes).
Untuk pelaku, FSGI membeberkan bahwa 40 persen dilakukan oleh guru atau ustaz, 33 persen pimpinan dan pengasuh pondok pesantren, 20 persen kepala sekolah dan 6,67 persen adalah penjaga sekolah di mana seluruh pelakunya adalah laki-laki.
Oleh sebab itu, Puan mengingatkan Pemerintah dan lembaga pendidikan untuk melakukan verifikasi dan penilaian terhadap latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, serta catatan perilaku tenaga pendidik, khususnya di sekolah berasrama.
"Dengan melakukan pengawasan secara berkala, Pemerintah melakukan upaya pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan tenaga pendidik," jelas perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI tersebut.
Selain itu, Puan menekankan pentingnya pemerintah pemberian pelatihan tambahan kepada tenaga pendidik mengenai etika profesional, tanggung jawab, dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tenaga pengajar mengenai isu-isu perlindungan anak, serta memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam mengidentifikasi, melaporkan dan melindungi korban saat menangani kasus kekerasan seksual.
"Pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada tenaga pendidik dari setiap jenjang pendidikan tentang etika profesional agar tidak ada lagi kasus kekerasan seksual berlandaskan relasi kuasa," ucap Puan.
Baca juga:
Seperti diketahui, kasus kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan agama yang berbasis asrama. Seperti pencabulan di pondok pesantren Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang diduga dialami 41 orang santriwati. Pelaku merupakan 2 pengasuh ponpes tersebut.
Ada juga kasus pelecehan seksual di pondok pesantren di Provinsi Lampung beberapa waktu lalu di mana modusnya adalah santriwati diiming-imingi mendapat berkah jika bersetubuh dengan pelaku. Kemudian belasan santriwati sebuah pondok pesantren di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, juga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengasuh ponpes.
Pada tahun 2021, puluhan alumni SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu, Jawa Timur, melaporkan kekerasan seksual yang dialami mereka saat masih menjadi pelajar. Pelaku adalah pendiri sekolah tersebut. Pada kasus ini juga terdapat dugaan eksploitasi ekonomi terhadap siswa SMA SPI.
Terbaru, terjadi kekerasan seksual di sebuah Ponpes di Labangka, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada sebanyak 29 santriwati yang diduga mendapat kekerasan seksual dari pimpinan ponpes.
Selain itu, terdapat pula oknum Kepala Sekolah (Kepsek) dan Guru Madrasah di Wonogiri yang diduga mencabuli 12 muridnya. Puan menilai, penanganan kasus kekerasan harus dimulai dari pencegahan.
“Pelatihan dapat berkolaborasi lintas kementerian dan lembaga. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud) serta Kemenag bisa menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk menggencarkan sosialisasi terkait sekolah ramah anak,” imbaunya.
Puan menambahkan, pelatihan mengenai perlindungan anak bagi tenaga pendidik juga sekaligus dapat menjadi sarana sosialisasi Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"Dengan adanya sosilalisasi terkait edukasi, pengawasan dan ancaman di balik UU TPKS, diharapkan bisa menjadi tameng kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan," urai Puan.
Di sisi lain, mantan Menko PMK ini mendorong Kementerian Agama (Kemenag) segera mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Anak di Pesantren. Dengan aturan tersebut, Puan berharap Pemerintah dapat mengawasi setiap satuan pendidikan berbasis asrama di seluruh daerah di Indonesia.
“Dengan disegerakannya peraturan tersebut, diharapkan Pemerintah bisa melakukan tindakan preventif terhadap sekolah berasrama yang memiliki rapot hitam agar tidak diberikan izin penyelenggaraan proses pendidikan,” tegasnya.
“Selain itu Pemerintah memiliki kuasa penuh dalam setiap pendataan tempat penyelenggaraan pendidikan dan para tenaga pendidiknya,” lanjut Puan.
Sementara itu, Kemendikbud sudah membuat Permendikbudriset No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Puan mendorong agar dibuat pula aturan yang sama untuk jenjang sekolah.
“Sehingga aturan perlindungan anak dari ancaman kekerasan seksual di lingkungan sekolah semakin komprehensif,” ujar cucu Bung Karno tersebut.
Puan pun mengajak stakeholder terkait lainnya beserta seluruh masyarakat untuk meningkatkan awareness terhadap isu kekerasan seksual pada anak. Dengan adanya kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat, diharapkan hal tersebut menjadi garda terdepan pencegahan persoalan kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.
"Kami di DPR juga terus berusaha memberikan edukasi kepada masyarakat saat berkunjung ke dapil-dapil maupun saat melakukan pengawasan di setiap tempat dalam upaya memberikan pemahaman terhadap UU TPKS dan bahaya kekerasan seksual bagi masa depan bangsa," terang Puan.
“Dan saya sekali lagi mengingatkan Pemerintah untuk mempercepat penerbitan aturan teknis UU TPKS karena sudah sangat dibutuhkan,” pungkasnya.