Biji Sorgum: Berkah untuk Tanah-Tanah Kering
JAKARTA - “Rakyat Jawa Tengah (tahu) bagaimana cara-cara mengelola daun ketela pohon. Rakyat Kalimantan Barat (paham) bagaimana mengelola daun genjer. Bagi rakyat Jawa Barat (mahir) bagaimana cara-cara mengelola jagung.”
Begitulah isi pesan dari memo Menteri Pertanian Brigadir Djenderal Dr. Aziz Saleh kepada bawahannya, Sekretaris Jenderal Pertanian. Pesan itu menindaklanjuti keinginan Presiden Soekarno untuk menyusun buku Mustika Rasa (1967), sebuah buku berisi kumpulan resep masakan dari pelosok Nusantara untuk mengenalkan pangan selain nasi. Sorgum jadi salah satu yang diperkenalkan.
Dalam sepenggal pesan itu, Saleh mengharapkan hadirnya buku tersebut supaya ada pertukaran resep makanan sehingga dapat menimbulkan kebiasaan baru makan di luar dari bahan makanan yang sudah akrab. Jadi ironi, sebab semangat Saleh tak pernah diteruskan pemimpin-pemimpin negeri lain. Bahkan hingga pemerintahan terbaru di bawah Joko Widodo (Jokowi).
Para pemimpin negeri lebih bersemangat menyeragamkan makanan pokok dengan membuka sawah besar-besaran untuk menghasilkan beras. Untungnya, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, alternatif sorgum sebagai pangan nasi yang lebih sehat muncul ke permukaan.
Asa sorgum sebagai alternatif pangan berkembang dari podium diskusi kecil ke diskusi besar. Itu semua berkat 'bandelnya' daya tahan alternatif pangan ini di wilayah kering, terlebih di cuaca yang tak pasti seperti di Indonesia.
Penyebaran sorgum
Sorgum yang berbentuk biji-bijian kasar lekat sebagai makanan orang miskin. Meski begitu, sejarah mencatat sorgum sebagai sumber pangan dunia nomor lima, tepat berada di bawah gandung, jagung, padi, dan jelai. Selain Nusantara, sorgum juga jadi tumpuan di negara-negara berwilayah kering, khususnya Asia dan Afrika.
Secara sejarah, tak ada yang tahu pasti bagaimana dahulu awal sorgum di budidayakan. Yang jelas, tanaman ini asli dari Ethopia, Afrika Timur. Dalam jurnal yang diterbitkan Litbang.pertanian.go.id tertulis: Sorgum mungkin merupakan salah satu tanaman yang pertama kali didomestikasi dalam sejarah umat manusia karena merupakan tanaman penting di dunia jauh sebelum abad pertama.
Baca juga:
Pada abad ke-10, penyebarannya mulai mencapai Bostwana, menyusul kemudian ke Zambia di abad ke-14 dan meluas ke seluruh Afrika Selatan pada abad ke-16. Di Asia, sorgum masuk lewat Asia Selatan dan mencapai China pada abad ke-13.
Selain itu, sorgum mulai menyebar ke Benua Amerika melalui perdagangan budak sekitar pertengahan abad ke-19. Hingga sebelum tahun 1900, budidaya sorgum mulai berkembang secara besar-besaran, tepatnya dataran Amerika Serikat bagian selatan. Di Indonesia, sorgum masuk pada tahun 1925 lewat Pemerintah Hindia-Belanda. Namun, meluasnya konsumsi sorgum baru terjadi pada tahun 1940-an.
Kini, berkat kemampuannya yang begitu toleran terhadap kekeringan dan memiliki kuasa beradaptasi cepat, popularitas sorgum mulai meluas di seluruh dunia. Hasilnya, sudah banyak negara-negara penghasil sorgum utama di dunia, sesuai data dari FAO. Sebut saja Amerika, India, Meksiko, China, dan Nigeria.
Perkembangan di Indonesia
Sorgum memiliki lima klasifikasi jenis, mulai dari bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Hal ini jadi menarik, selain banyaknya nama yang dimiliki tanaman ini. Sorgum di Amerika Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia, serta Cantel di Jawa.
Dikutip dari Majalah Respect edisi 15, memori awal orang-orang Indonesia terkait cantel atau sorgum bisa dilihat dari pengalaman petani di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta dulu. Saat itu, mereka mengenal sorgum sebagai tanaman dengan fungsi sebagai penyangga di sekeliling sawah, kala padi mulai menguning. Tujuannya, sebagai siasat agar burung-burung tak menghabiskan bulir-bulir padi.
Di Buton, Sulawesi Tenggara beda lagi. “Sebagian orang tua di daerah tersebut masih memiliki ingatan mengonsumsi sorgum sewaktu kecil. Sorgum biasa dibuat menjadi bubur untuk sarapan atau sebagai camilan yang diolah sebagai dodol dicampur kacang,” tertulis.
Keunggulan lain, selain harga yang lebih murah dari jagung, sorgum juga merupakan tanaman yang perawatannya mudah dan tak membutuhkan banyak pupuk kimia sebagaimana dilakukan untuk menanam beras. Keunggulan ini juga yang menjadi alasan sorgum dilirik untuk dikembangkan ke berbagai wilayah Indonesia. Tepat sebagai langkah memenuhi prinsip manfaat, kemandirian, dan keberlanjutan.
Soal manfaat bagi masyarakat Indonesia, dapat dilihat bagaimana sorgum menjadi pangan bagi manusia serta pangan untuk hewan ternak. Selebihnya, sorgum memiliki kandungan serat tinggi yang amat jauh dibanding beras yang pada umumnya menjadi makanan pokok di Nusantara. Manfaat lainnya, biji sorgum merupakan bahan baku industri seperti etanol, wine, bir, sirup, lem, dan cat.
Dalam hal kemandirian, tanaman sorgum adalah tanaman yang dapat menyerbuk dirinya sendiri sehingga benih untuk musim berikutnya dapat disiapkan oleh petani. Hal tersebut sekaligus memenuhi prinsip kemandirian dan berkelanjutan. Pada November 2014, Kementerian BUMN menetapkan Desa Prambon, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur dan beberapa desa lain di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai wilayah pengembangan sorgum nasonal. Tak main-main, lahan yang disiapkan untuk budidaya sorgum mencapai 15.000 hektare
Tantangan budidaya
Dalam sejarah bangsa ini, mendorong alternatif pangan lain selain beras selalu jadi perkara yang sukar. Terlebih sorgum. Program Manager Indonesia Berseru, Ida Pardosi bicara soal ini. Dalam keterangannya kepada VOI beberapa waktu lalu, ia mengungkap ada beberapa faktor yang membuat pangan alternatif khususnya sorgum sulit hidup di Indonesia.
“Pertama, kebijakan pangan nasional masih menempatkan beras sebagai pangan utama. Kedua, kebanyakan lahan mulai tergerus oleh tanaman pangan lain. Misalnya, di Riau dan Papua jadi sawit. Ketiga, pola konsumsi masyarakat yang sudah mulai berubah berkat promosi besar-besaran beras, roti dan mi instan,” ucap Ida Pardosi.
Ketika masalah-masalah di atas masih mengeluti bumi Nusantara, niscaya masalah penyeragaman pangan serta gelora impor pangan dari negara lain masih menyelimuti negara ini. Untuk itu, kita harus menghargai keberagaman pangan, sama halnya menghargai keberagaman Indonesia.
“Kita harus menghargai sumber pangan sangat beragam. Mulai mengenal dan menghargai sistem pangan yang ada, siapa yang menghasilkan dan ujung-ujungnya memperkuat sistem pangan kita yang kian rentan karena perubahan iklim dan mengubah sikap kita ke makanan secara umum. Makan secukupnya, makan beragam, dan jangan sia-siakan makanan,” tutup ida.