Mekanisme Bursa Karbon Harus Jelas Agar Tujuan Pengurangan Emisi Terlaksana Baik

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menunjuk Bursa Efek Indonesia sebagai lembaga yang menyelenggarakan mekanisme perdagangan karbon. Ini sesuai dengan Pasal 27 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 yang disahkan pada 20 Oktober lalu.

Namun, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai aturan main di bursa karbon sudah semestinya dibuat berbeda dengan bursa efek.

Pasal 24 Undang Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) memang menyebut bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat izin usaha OJK, tetapi bukan otomatis berasal dari penyelenggara bursa efek.

“Menjadi aneh kalau ada wacana peraturan khusus di mana bursa efek bisa otomatis jadi penyenggara bursa karbon. Rancangan Peraturan OJK semestinya memberikan ruang kompetisi yang adil kepada setiap penyelenggara yang ingin terlibat,” kata Bhima dalam keterangannya yang diterima VOI pada 18 April 2023

Secara fungsi saja sudah berbeda. Bursa efek memiliki fungsi pencarian dana bagi emiten dan memfasilitasi investor dengan emiten, sementara bursa karbon berfungsi sebagai penemuan harga acuan karbon. Terdapat penjual dan pembeli di bursa karbon.

“Khawatir jika dibatasi hanya bursa efek yang otomatis menjadi penyelenggara bursa karbon akan menghambat laju inovasi dan kedalaman pasar karbon. Karena kebingungan dari mekanisme bursa karbon menjadi disinsentif bagi pelaku pasar yang ingin terlibat,” ucap Bhima.

Ilustrasi - Total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Ini tentu dapat memberikan manfaat besar tak hanya bagi lingkungan melainkan juga sosial. (Pixabay)

Idealnya memang dipisah dengan bursa efek. Seperti di Amerika Serikat, penyelenggara bursa karbon bukanlah New York Stock Exchange dan Nasdaq melainkan Intercontinental Exchane (ICE).

Sehingga, usulan bursa efek menjadi penyelenggara bursa karbon menimbulkan beragam pertanyaan besar terhadap desain bursa karbon dan efektivitas perdagangan karbon di Indonesia.

“OJK perlu hati-hati dalam merumuskan aturan penyelenggara bursa karbon. Kita tentu melihat pemain bursa karbon kedepannya bisa saja muncul dari perusahaan teknologi yang bukan bagian dari bursa efek. Ekosistem ini juga perlu difasilitasi oleh OJK,” ucapnya.

Bursa karbon merupakan sistem yang mengatur pencatatan cadangan karbon, status kepemilikan unit karbon, dan perdagangan karbon. Ini sangat diperlukan dalam mendukung percepatan target Net Zero Emission pada 2050 karena sektor yang memiliki unit karbon positif akan mendapat insentif dari skema perdagangan karbon.

“Mekanisme bursa karbon memang sudah lama ditunggu, tentunya kualitas dari pengaturan teknis penyelenggara bursa karbon menjadi penting,” imbuh Bhima.

Paris Agreement

Emisi karbon atau yang sering disebut gas rumah kaca adalah penyebab terbesar perubahan iklim. Berdasar data World Bank, total emisi karbon yang diproduksi oleh seluruh negara di dunia per tahun 2018 mencapai 34.041.045 kiloton CO2 ekuivalen. Tiongkok menjadi negara dengan penghasil emisi karbon terbesar di dunia dengan jumlah sebesar 10.313.460 kiloton CO2 ekuivalen.

Lalu, diikuti Amerika Serikat di urutan kedua dan India di urutan ketiga. Sementara, Indonesia berada di urutan kesembilan dengan total emisi karbon sebesar 583.110 kiloton CO2 ekuivalen.

Mengatasi itu, seperti yang tertulis di buku ‘Pajak Karbon: Belajar dari Swedia dan Finlandia’ karya Eykel Bryken Barus dan Suparna Wijaya, PBB kemudian menginisiasi seluruh anggotanya membuat perjanjian untuk mengurangi produksi emisi karbon di Kota Paris, Prancis pada 23 April 2016. Perjanjian inilah yang dikenal dengan Paris Agreement.

Indonesia yang ketika itu diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya turut menandatangani perjanjian tersebut. Indonesia menyatakan siap menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030.  Komitmen ini dinyatakan oleh pemerintah melalui Nationally Determined Contribution (NDC).

Perubahan iklim meningkatkan risiko kebakaran hutan. (Antara/Bayu Pratama S/rwa)

Sebagaimana diatur dalam Artikel 6 Paris Agreement, negara dapat bekerjasama satu sama lain dalam memenuhi penurunan emisi mereka. Meski secara eksplisit tidak menyebutkan mengenai mekanisme pasar dalam perjanjian, tetapi aturan ini memungkinkan negara mengejar co-operative approaches dan secara sukarela menggunakan International Transferred Mitigation Outcomes (ITMOs) untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi karbon.

Indonesia berpeluang bahkan tak hanya mengurangi, tetapi juga mengambil manfaat ekonomi dari emisi karbon. Adanya hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar, hutan mangrove dengan luas 3,31 juta hektar, dan lahan gambut terluas di dunia seluas 7,5 juta hektar tentu menjadi hal yang istimewa. 

Keseluruhan area tersebut menurut pemerhati hukum investasi dan perdagangan karbon, Rio Christiawan dalam opininya di Hukumonline pada 20 Maret lalu, setidaknya mampu menyerap emisi karbon hingga 113,18 gigaton.

“Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan asumsi harga 5 dolar Amerika Serikat di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai 565,9 miliar dolar Amerika Serikat,” kata Rio Christiawan.

Tantangan Bursa Karbon

Kendati begitu, kata Rio, pembentukan bursa karbon setidaknya memiliki tiga tantangan. Pertama, mekanisme penetapan harga acuan unit karbon yang akan diperdagangkan.

“Penetapan harga yang akurat sangat penting, mengingat harga bursa karbon akan menjadi acuan bagi perdagangan karbon non bursa (baik pasar mandatory dan pasar voluntary). Salah satu dari esensi Perpres NEK (Nilai Ekonomi Karbon) adalah penetapan harga acuan,” kata Rio.

Tantangan kedua adalah mempercepat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon. Sehingga, nantinya perdagangan karbon Indonesia dapat didominasi oleh pemerintah maupun oleh swasta pemegang PBPH.

Sebaliknya jika proses PBPH, registrasi dan otorisasi berbelit-belit maka dikhawatirkan bursa karbon nantinya akan sepi perdagangan atau didominasi perusahaan asing.

“Jika ini terjadi, Indonesia hanya sebagai pembeli atau perantara, bukan penjual karbon secara langsung melalui mekanisme bursa,” lanjut Rio.

Tantangan ketiga adalah segera menyelesaikan pembuatan aturan turunan dan aturan teknis mengenai bursa karbon di Indonesia, mengingat perdagangan karbon melalui bursa ini melibatkan berbagai otorisasi.

Misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkaitan dengan otorisasi perdagangan karbon sebagaimana dijelaskan dalam Permen LHK 21/2022.

“Kemudian mengingat bursa karbon disebut dalam UU PPSK maka perlu aturan teknis OJK dan BAPEBTI (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Juga perlu regulasi turunan yang jelas mengenai institusi yang berhak atas pengawasan dan institusi yang berhak menyelenggarakan perdagangan karbon itu sendiri,” imbuhnya.