Cerita Kesulitan Sriwijaya Air: 'Cerai' dari Garuda Indonesia, Pandemi COVID-19 hingga Jatuhnya SJ-182
JAKARTA - Sriwijaya Air barangkali akan menuliskan sejarahnya sendiri sebagai maskapai yang menorehkan tahun-tahun tersulit dalam beberapa waktu terakhir.
Dilansir dari Antara, Selasa 12 Januari, usai perceraiannya dengan maskapai pelat merah dengan pangsa terbesar di Tanah Air, Garuda Indonesia, pada 2019, perusahaan penerbangan yang beroperasi sejak 10 November 2003 di Indonesia itu harus terseok untuk bangkit dengan beban kendala berat pada aspek produksi.
Awal tahun 2020, Sriwijaya dibayangi masalah peralatan produksi yang banyak berkurang jauh setelah tak lagi Kerja Sama Manajemem (KSM) dengan Garuda Indonesia Group.
Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena, awal tahun 2020 blak-blakan mencurahkan kondisi perusahaannya yang menanggung banyak sekali kendala, selain dari sisi alat produksi memang mengalami penurunan drastis, sekaligus citra sempat yang merosok akibat perceraian dengan Garuda tersebut.
Perusahaan itu terlihat begitu keras untuk berupaya bangkit dengan segala kendala yang dihadapinya termasuk merumuskan segmen yang lebih spesifik mengincar milenial dan menghindari perang tarif.
Belum selesai dengan itu semua, pandemi COVID-19 menghantam mengharuskan perusahaan itu putar haluan dan mengikatkan tali ikat pinggang dengan lebih kencang.
Pergerakan orang yang sempat dibatasi menjadi kendala tersendiri bagi bisnis transportasi maka Sriwijaya pun tak luput terdampak pandemi.
Kabar baiknya adalah citra Sriwijaya yang terus membaik, menjelma menjadi transportasi terbang alternatif yang tak banyak mendapatkan komplain pelanggan.
Ia bermain pada segmen "medium service airline" dan menjadi "anak baik" dalam dunia penerbangan Indonesia sehingga menjadi maskapai yang berhasil mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat Tanah Air.
Sriwijaya Air mulai terlanjur dicintai sampai saat setahun selanjutnya pada 9 Januari 2021 ketika segala sesuatu mestinya berjalan sesuai rencana berubah 360 derajat sebagaimana ketika salah satu pesawatnya SJ 182 menghujam dari ketinggian 10.000 kaki ke perairan sekitar Kepulauan Seribu.
Maka bukan hanya Sriwijaya yang menangis melainkan seluruh bangsa ini yang jatuh dalam rasa duka.
Dibayangi Kebangkrutan
Seolah menjadi formula dan rumus yang menjadi momok bahwa insiden bahkan kecelakaan pesawat merupakan awal dari kebangkrutan sebuah maskapai.
Tengok saja, Malaysia Airline yang pada 2015 dirundung duka karena musibah yang menimpa dua pesawat yakni MH370 yang bahkan belum juga diketahui nasibnya. Empat bulan berselang MH17 ditembak jatuh dengan rudal karena sempat dicurigai akibat terbang di wilayah udara Ukraina.
Kedua bencana tersebut terbukti menjadi pukulan keras bagi bisnis MH yang sedang berjuang keras untuk bangkit dan bahkan telah melaporkan kerugian selama beberapa tahun akibat persaingan di bisnis penerbangan yang sangat ketat.
Chief Executive Malaysia Airline bahkan mengumumkan perusahaannya secara teknis telah bangkrut akibat dua musibah itu dan harus segera mem-PHK 6.000 karyawannya. Namun beruntung, MH dapat memperbaiki bisnisnya sehingga perlahan bangkit.
Baca juga:
Nasib tak seberuntung MH dialami oleh maskapai asal Mesir, Flash Airline, yang pada 2004 mengalami musibah pesawatnya berjenis Boeing 737-300 jatuh di Laut Merah hingga menewaskan 148 penumpang. Tak lama berselang sekitar dua bulan kemudian, Flash Airlines pun dinyatakan bangkrut.
Di Tanah Air, Adam Air mengalami kebangkrutan setelah mengalami kecelakaan berkali-kali dan pada akhirnya dicabut izin terbangnya oleh Departemen Perhubungan pada Maret 2008.
Menurut pengamat penerbangan sipil Gatot Raharjo, nasib Sriwijaya Air pascamusibah ini belum bisa diprediksikan dan masih terlampau dini untuk memproyeksikannya.
Sebagai perusahaan privat, laporan keuangan Sriwijaya hanya dapat diakses oleh manajemen internal, auditor, dan Kementerian Perhubungan sehingga publik tidak bisa mengetahui laporan keuangan maskapai tersebut. Gatot mengatakan saat masih bergabung dengan Garuda, Sriwijaya memiliki indikator kesehatan yang baik.
Namun sejatinya secara umum iklim bisnis penerbangan di Indonesia kata Gatot, sangat berat sehingga Sriwijaya akan menghadapi persoalan yang amat beragam untuk bangkit. Terlebih dia harus memulihkan citra yang hancur berkeping-keping akibat musibah SJ182.
Gatot menyarankan pemerintah melakukan intervensi jika maskapai tersebut pada akhirnya bangkrut sebab kolapsnya Sriwijaya akan berdampak luas. Dunia penerbangan Indonesia akan menjelma menjadi pasar oligopoli yang dikuasai oleh Garuda dan Lion Group.