Bicara Ketahanan Pangan, Moeldoko Tekankan Pentingnya Korporasi Petani

JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menekankan pentingnya peran Korporasi Petani dalam kebijakan pangan nasional. Pasalnya, menurut Moeldoko, Korporasi Petani akan membantu pemberdayaan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani.

"Pak Jokowi berharap agar ada korporasi petani. Maksudnya, petani tidak hanya sekedar panen, lalu langsung dijual. Tetapi, petani terlibat dalam proses produksi beras dan ikut dalam pemasaran hasil usaha tani," kata Moeldoko saat menyampaikan paparannya dalam Seminar Nasional Pangan tentang "Pembenahan Kebijakan Pangan Menuju Indonesia Emas" di Jakarta, Kamis 16 Maret.

“Korporasi petani perlu diperkuat dengan diberi modal. Jadi pada saat panen, korporasi bisa memberikan manfaatnya kepada petani,” imbuhnya.

Sementara itu, ide tentang korporasi petani dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2017. Arahan Presiden tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Pertanian melalui Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 tahun 2018.

Korporasi petani sebagai suatu usaha pertanian yang mandiri, berdaya saing dan berkesinambungan akan memberikan pembinaan, pengawalan, pemberian bantuan benih, pupuk, alat pasca panen dan pengolahan, serta pelatihan pemasaran kepada para petani yang menjadi anggota sekaligus pengelola korporasi.

Seruan Moeldoko untuk memaksimalkan fungsi korporasi petani didasarkan pada laporan riset Nagara Institute baru-baru ini yang menyebutkan bahwa saat ini terdapat tren penurunan kesejahteraan petani dan minat generasi muda untuk bertani.

Laporan Badan Pusat Statistik di tahun 2020 juga menyebutkan bahwa sebagian besar jumlah penduduk miskin ada di sektor pertanian. Rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian menyumbang kontribusi terbesar yakni 46,30 persen. Pendapatan rata-rata per bulan di sektor pertanian di tahun 2022 pun tercatat hanya sebesar Rp 1,9 juta.

“Petani itu tantangannya, lahan semakin sempit dan rusak. Petani kita juga tidak serta merta bisa menerima teknologi. Terkait manajemen keuangan, ya begitu petani kita tidak bisa menghitung. Belum lagi ketika pasca panen, pasti ada loss 10 persen,” kata Moeldoko.

Selain itu, walaupun pemerintah mengalokasikan KUR pertanian sebesar Rp 70 triliun di tahun 2021, tapi petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses permodalan karena berbagai macam faktor, mulai dari iliterasi hingga urusan birokrasi.

“Ada 3 hal yg mengakibatkan harga pangan naik: harga energi naik, kebijakan nasional dan kegagalan panen. Ketiga hal ini jangan dianggap remeh karena persoalan pangan adalah isu global. Namun, setelah memahami tantangan tersebut, kita mau ngapain? Itu yang harus dipikirkan,” pungkas Moeldoko yang juga ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).